SEBUAH LORONG MATA


Oleh: Sabit Banani

Musholla sederhana itu berada dekat jalan utama kotaku. Beberapa pohon mangga berdiri tegak dan rindang memagar mushola. Sebuah beduk tua teronggok di serambinya. Beduk terbuat dari pokok kayu kelapa memanjang sebesar kerbau.  Bila diamati beduk itu hanya dibuat seadanya sehingga hasilnya tak begitu halus. Kulit sapinya jebol di kedua sisinya sehingga tak dapat ditabuh  untuk mengundang orang untuk sholat berjama’ah.

Memang musholla tersebut kiranya dibuat hanya untuk para musafir, sehingga hanya sesekali orang mampir di mushola ini. Biasanya para sopir truk yang hendak buang air kecil yang tak menemukan tempat lain saja yang berulang kali hilir mudik ke turun di surau. Sesekali dari mereka ada yang meneruskan mengambil wudlu dan kemudian menunaikan sholat dzuhur atau ‘asar. Akan tetapi lebih banyak tentu kau tahu mereka hanya menyeka rambut dan kembali naik truk.

Sesekali aku singgah, mungkin dua atau tiga kali dalam sebulan. Pekerjaanku menangani tender pengadaan barang di sebuah instansi negara membuatku kadang melakukan perjalanan dinas. Waktu itulah jika waktu sholat menjelang sebelum pulang aku mampir di tempat ini.

Selasa ini, setelah dari Yogjakarta, ku belokkan mobil yang membawaku ke parkiran musholla. Dengan segera, setelah  sholat ku luruskan tubuh beristirahat di samping beduk tua ini. Dua orang bercakap-cakap di dekatku. Seorang setengah baya umurnya kurang lebih  50 tahun. Sedangkan dihadapannya seorang kakek tua  berkepala 70 tahun yang baru saja turun dari sepeda. Potongan badannya pendek, sedikit gemuk mengenakan baju  kumal.

Segera saja lelaki paruh baya itu – yang kelihatan dari handuk kecil yang melingkar dilehernya seorang sopir –  mengawali percakapan.

“Gimana mbah, dapat banyak uangnya hari ini ?” Tanya lelaki paruh baya.

“Lah dapat banyak apa, wong saya hanya bermain-main, ” jawab lelaki tua sekenanya.

“Bermain-main tapi kan intinya mencari duit?” tandasnya lebih mengena.

“Haha hahaa… sungguh aku tak mencari duit, tapi jika ada yang memberi dengan senang hati akan aku terima.” Jawab lelaki itu.

“Wah itu berarti kan sama saja dengan aku, aku mencari omprengan penumpang, mungkin agak berbeda tapi intinya juga mencari duit!”

“Tidak sama!” cegah lelaki itu.

“Tidak seluruh yang kau pikir itu benar, biasanya manusia menilai orang lain dengan pengalaman hidupnya sendiri. Itulah yang tidak tepat untuk menafsirkan yang aku lakukan. Tanpa bermaksud ujub hari ini memang aku mendapat uang “

Diambilnya uang dari saku. Dan ditunjukkanlah uang lima puluhan ribu itu

Lelaki paruh baya tersenyum penuh kemenangan. “ Lah itu buktinya mbah!”

“Bukan begitu, kebetulan aku lewat toko Maranata, beberapa karyawan memintaku untuk dipijat. Katanya mereka sakit kepala berhari-hari dan leher mereka kaku. Aku hanya memijat saja. Ketika aku pergi, mereka dengan sukarela memberiku uang ini.”

“Itulah bedanya denganmu Son, aku tak pernah mencari uang, tapi aku selalu bermain-main menadah rejeki dari tuhan. Dan tak pernah aku tolak carik – merasa kecewa – dengan orang ketika mereka kupijat dan tak dikasih apapun, memang niatku hanya memijat.”

Orang yang bernama Sono pun kecut, palang argumentasinya dikalahkan pengalaman hidup lelaki tua itu. Dengan segera pamit, katanya melanjutkkan mencari omprengan

“ Carilah duit dengan hatimu yang ringan Son !” teriak lelaki tua itu.

****

Kakek itu mengambil wudlu dengan cepat, dan tersenyum ketika melihatku. Aku tertarik dengan lelaki tua itu sepertinya pengetahuan dan kematangan hidupnya sudah sempurna, ibarat buah ranum yang matang di tangkai pohonnya.

Kulihat dari jendela mushola dia menunaikan rokaat demi rokaat dengan khusu’ dan setegap karang. Gerakan gerakan tubuhnya ringan seperti bangau terbang, yah jejak keimanan kata Mohammad Iqbal memang seperti kepakan burung.

Sepeda tuanya yang memang satu – satunya disandarkan di dekat mushola. Di boncengan menggantung tas kresek hitam yang isinya jelas aku tak tahu. Kulihat sepeda itu tergeletak begitu saja seolah menunggu dengan sabar pemiliknya untuk mengayuh kembali.

“Assalamu’alaikum Mbah,” ku ulurkan tangan menjabatnya.

“Wa’alaikumsalam, masnya dari mana dan mau kemana?” Tanyanya dengan kesungguhan. Kami spontan duduk kembali. Aku nyatakan aku hanya musafir yang mampir saja, kepadanya aku mengatakan ingin menanyakan sesuatu.

“Apa yang kau ingin tanyakan?”

“Apakah hidup yang ku lalui sudah benar mbah?”
”Haahhaa.. heh heeh” tawanya terkekeh. Aku diam saja, sungguh benar benar serius.

“Kau itu sudah sempurna, jalan yang kau lalui sudah tetpat, seperti kereta yang berlari di rel baja. Tapi walaupun begitu hidupmu masih kurang. Aku melihat, ada rongga yang belum kau isi”. Katanya dengan mantap, suaranya berat, Entah nada suaranya atau apa yang membuat suaranya seperti bandul yang berat yang mengalungi telingaku.

“Di isi dengan apa ?”

“Dengan kebodohan”,

Aku tentu kebingungan.

“Kebodohan yang tahu diri” lanjutnya.

Aku masih bingung dengan pernyataan simpul dan makin sulit aku jawab, tapi aku tahu ini pernyataannya harus aku urai.

“Yah kau kan tahu sekarang banyak orang bodoh yang merasa pintar sehingga seolah mau menggurui semua orang. Banyak orang bodoh miskin yang tak tahu batas kekayaannya sehingga ingin memiliki apapun dengan menggali lubang dan danau. Dan banyak orang bodoh yang merasa bermoral sehingga mereka merasa berhak untuk selalu jadi pemimpin dan penjaga moral.”

Aku terkejut dengan ucapan orang tua kali ini.

“Dan kau, aku melihat dalam dirimu ada watak bodoh yang sejati, maka sejak hari ini jadilah orang bodoh, jadilah muridku”. Dengan kedua tangannya ia kemudian membacakan sebuah do’a, sungguh aku tak tahu apa artinya.

Aku merasa ada ketenangan yang meyelimutiku. Orang tua itu sungguh benar.

Sepulang dari mushola itu, Virus Bodoh mbah tua yang memperkenalkan diri sebagai Mbah Nur itu seolah menjangkiti diriku dengan cepat. Isteriku keheranan ketika aku meminta uang yang baru saja aku berikan kepadanya. Jumlahnya Sekitar 5 Juta, aku dapatkan dari fee salah satu rekanan yang tendernya dengan curang aku menangkan.

“Ada apa mas, buat apa mas? ” tanya isteriku keheranan.

“Aku akan kembalikan uang ini pada kas Negara, ini bukan uang kita”

Isteriku melongo.

Esoknya aku kembalikan uang itu lewat bendaharawan kantor, dirinya pun bertanya mengapa aku kembalikan uang ‘setengah halal’ ini. Dengan tegas aku jawab ini uang Negara. Ular berbisa itu menghitung dengan kecut serta mulut mendesis sampai kemudian aku minta salinan tanda terima uang masuk kas.

*****

Setengah bulan kemudian waktu hujan mengguyur jalanan kota, aku dekati musolla itu. Kulihat Mbah Nur duduk di kelilingi beberapa orang. Ada disana tukang dawet, salesmen, tukang listrik, seorang direktur sebuah, beberapa orang serta…..

“Alamaa ..k” batinku keheranan.

Mantan pejabat negara yang beberapa kali muncul di TV. Pejabat tersebut setelah mengakui dirinya menerima suap dan mengembalikan uang dan mencoba membongkar korupsi yang lebih ganas, tapi malah justru dijadikan musuh bersama kolega – koleganya disana.

“Ohh rupanya dia juga murid mbah itu “ batinku keheranan.

“Akhirnya kau jadi orang bodoh yang tahu diri juga”   katanya menepuk bahuku  setelah menyeretku ke majlis tersebut. Aku agak cangggung dengan sebutan itu,

“Dia baru saja mengembalikan sesuatu yang bukan miliknya kepada yang berhak! “

Aku kaget bukan alang kepalang, bagaimana Mbah Nur tahu.

“Memang, jadi orang bodoh harus menghayati kebodohannya, karena jika tidak akan maka kebodohan akan memakan dirinya seperti ulat yang memakan daun. “

Kata Mbah Nur sambil keluar menuntun sepeda tuanya kedepan jalan raya, tiba – tiba dari arah yang berlawanan sebuah sedan merah seperti dengan cepat menuju ke pengendara sepeda itu dan ..

Brakkk ….

“Ya Alloh.”

Kulihat tubuhnya terpental jauh. Rupanya mobil mewah itu dengan sengaja menabraknya. Mobil itu melaju meninggalkan tubuh renta itu.

Aku berlari mendekati tubuh berdarah itu, aku baringkan segera tubuhnya di pangkuanku.  Aku panggil namanya.

“Mbah mbahh …”

Innalillah, rupanya beliau sudah meninggal, hanya kedua matanya yang masih menyala dan kemudian mulai meredup. Mata itu kulihat seperti gerbang sebuah kota.

Dan aku berjalan memasuki lorongnya. Tiba – tiba aku merasa memasuki sebuah negeri kuno, seperti yang aku baca dari buku buku kuliahku dulu.

Apakah aku menginjak Miletos. Sebuah negeri dengan bangunan yang disangga tiang –  tiang tinggi. Di pinggang gunung berdiri dengan kokoh sebuah kuil yang dibangun Anaximenes yang terkenal.

Kulihat sosok tua itu berada disana. potongan badannya pendek sedikit gemuk dengan baju putih. Yah Socrates,,,si ahli meiuetik itu. Di dekatnya Crito sang murid dengan gemetar memegang sebuah cawan.  Dia menangisi dirinya, sayup sayup kudengar dia berkata “ demikianlah adanya, kita semua sama sama tidak tahu”.

Tiba tiba menengguk racun, dengan segera tubuhnya menggelepar.

Dan kini aku tak tahu dimana aku

Kegelapan menyelimuti dengan cepat, aku merasa berada di gerbang yang lebih pekat.

Sabit Banani, Mendalami Filsafat di Nyalaterang Institute,

dan Aktif di Forum Penulis Kebumen.

Dimuat di Koran Merapi (group KR) Minggu : 13 – 04 – 2010