Percakapan Hati


Sigis Ustiyaningsih *

Sore ini udara dingin, sinar matahari entah bersembunyi di ufuk barat yang mana. Mendung menggelantung di atas pepohonan bukit. Serasa hujan hendak di tahan – tahannya di dahan dan ranting. Angin masuk menukik dan  merambat ruangan dimana wanita itu menemui sore. Seharian wanita itu diam tanpa mengerjakan apapun. Sehabis mandi kembali kebosanan menyergap, dan  menuju kamar yang mungil. Mengambil beberapa kuas buat memoles wajahnya di depan meja rias, tak lama wajahnya menari – nari di cermin almari itu. Jam tangannya yang tergeletak di meja menujukkan  05.15 sore.

Memang biasanya setiap hujan turun di akhir senja wanita itu akan menghadap jendela, untuk waktu beberapa lama. Entah harus bagaimana dia menerlantarkan sisi hatinya, segenap kepedihannya.

Wanita  itu kemudian berdiri menyandarkan tubuhnya yang semampai di gigir jendela. Matanya masih berlari di serpihan hujan yang tiba – tiba  dengan lincah menggelisir di halaman  rumah. Dia masih menggembalakan pikiran – pikiran dan segenap kenangannya di padang tiah hatinya.

Wanita itu membatu dalam kesunyian yang bungkam. Sambil kembali meratap pandang ke arah hujan yang rinai, wanita itu mengheningkan kelengangan ingatannya.

“Jujurlah pada dirimu!” bisiknya kepada jendela – jendela yang lengas berair.

Dan bayangan – bayangan itu kembali membuncah dan meronta dalam matanya, menenggelamkan seluruh gelora kehidupannya.

****

“Bu.. Bibah  berangkat sekolah” teriaknya dengan ceria ke belakang. Ibunya hanya tersenyum ketika melihat anak gadisnya yang dengan terburu – buru membawa tas. “Hati – hati di jalan ya nak!” Begitu  kata ibunya waktu itu.

Motornya yang berwarna merah dihidupkannya dengan cekatan,  bunyinya masih halus. Dia merasakan hentakan lirih dan setelahnya motor itu hendak mengantarkan ke sekolah. Namun baru beberapa meter berjalan, beberapa rombongan mobil melewatinya dan dari spion melihat mereka berbelok ke kanan memarkir mobil itu di depan ruman Pak Haji Bakir. Orang tuanya  sendiri.

Dan di tempat sekolah dirinya bergulat dengan ujian terakhirnya di SMA.  Soal – soal itu  memaksa otaknya untuk berkonsentrasi lebih lama. Dan menit  demi menit berlalu, akhirnya selesai sudah siksaaannya hari ini. Dan bel berdentang 3 kali, murid pun berlarian pulang. Sedang dirinya sendirian tak menuju ke sepeda motornya di parkiran tapi berjalan ke taman di depan sebuah kelas.

“Sini Bibah” lambai tangan seorang pemuda yang berkacamata. Namanya Arman. Pemuda desa yang sederhana itu saja yang sanggup memikat cinta pertamanya. Mungkin pemuda itulah  yang mengenalkan makna cinta secara khusus pada dirinya. Setengah berlari dirinya menuju ke pemuda itu yang dengan wajah berpendar menunggu. Pemuda itu memegang sebuah buku yang ia sangat paham buku jenis apa yang mesti dibawanya.

“Sudah lama nunggu ya Kak?”

“Sudah, kira kira setahun yang lalu”…jawab pemuda muda itu bercanda.

“Aahh Kakak selalu saja menggodaku.” Kilah Bibah sambil jari tangan lembutnya mencubit kekasihnya.

“Aau sakit” teriak Arman, dan Bibah tak begitu saja melepaskan kekasihnya. Kepalan tangannya lalu dengan gemas memukul – mukul  bahu pemuda itu. Dan buku tipis  itu terjatuh. Buku dengan cover warna hijau muda dengan latar burung – burung terbang menuju pepohonan di tengah gurun itu itu berjudul Percakapan Para Burung.

“Pengarangnya Fariduddin Attar, seorang sufi dari Persia Bibah” Kata pemuda itu dengan lugas, ketika Bibah mengambil buku yang terjatuh itu.

“Ini novel apa kak?”

“Ini roman alegoris yang berisi nasib para pecinta. Isinya tentang perjuangan ribuan burung untuk menemui raja para burung yang bernama Simurgh. Raja burung itu tinggal di sebuah tempat yang amat jauh, konon melewati 7 lembah yang begitu jauh. Sehingga harus bertahun – tahun mereka terbang”

“Lalu mereka bertemu dengan raja burung itu” Tanya Bibah waktu  itu.

“Iya akhirnya dengan gairah dan cita – cita yang melambung tinggi akhirnya sebagian dari mereka bisa berhasil. Jumlahnya hanya 30 burung yang sampai. Sedangkan ribuan yang lain mati dan mengundurkan diri di tengah jalan”

“Jadi tidak semuanya Kak, kenapa?”

“Karena hanya pecinta sejatilah yang akan sanggup menemukan cintanya. Termasuk juga manusia” Begitulah Arman mengakhiri ceritanya.

Setengah jam mereka bercakap, sekolah sudah mulai lengang. Hanya beberapa guru yang sibuk menata tas dan pak kebun yang sedang menyapu halaman – halaman sampah yang berserak. Akhirnya keduanya pulang, Arman mengambil sepeda usangnya dan Bibah menghidupkan motornya. Di mata kekayaan orang tua Bibah, Arman hanyalah nyamuk kecil di depan rajawali. Walaupun dia siswa tercerdas sehingga terpilih menjadi Ketua OSIS, orang tuanya hanyalah buruh tani yang miskin. Sungguh kontras nasib keduanya. Mereka pulang berdampingan dengan angin yang berdesir di tengah jalan yang mereka lalui.

***

“Bibah, tadi pagi ada tamu dari luar kota. Temannya ayah dulu di dinas militer, dia datang bersama anaknya?” kata ayanya malam itu  ketika mereka sekeluarga sedang makan malam.

“Memangnya kenapa yah?” Tanya gadis mungil itu.

“Aku terikat janji muda untuk menjodohkan antar anakku dan  anaknya jika sudah dewasa”  kata  ayahnya menjelaskan.

‘Yah aku kan masih sekolah masakan mau menikah. Aku harus menyelesaikan sekolah dulu” Jawab Bibah mulai bimbang, hatinya makin galau. Untuk gadis seumurannya masalah nikah adalah peristiwa yang amat jauh dari jangkauannya. Terkadangan Mungkin muncul dalam hayalannya tapi tentu amat jarang.

“Ah gampang itu Bibah nanti di tempat suamimu itu kau bisa sekolah setinggi mungkin?”

“ Tapi yah, aku juga ingin mencari jodoh sendiri seperti Mbak Limah”

“Tiap jodoh berbeda Bibah, Mbak mu memang dulu ayah pebolehkan, tapi kau harus menikah dengan Hamid anak Pak Bambang yang datang kemarin?”

“Tidak yah aku akan minggat jika ayah tetap jodohkan aku” lawan gadis itu.

“Bibah berbaktilah pada orang tuamu, sekali ini saja. Menikahlah tanpa kau punya niatan apapaun. Hanya niatan membahagiakan orang tuamu saja sudah cukup. Hamid seorang Perwira di Dinasnya. Ayah yakin kau akan bahagia. Seminggu lagi kau lulus dan minggu depannya kau ku nikahkan dengannya. Dia akan membawamu ke Maluku tempatnya berdinas.

“Bibah belum mau menikah!” Bibah berlari meninggalkan meja makan. Dan berhari – hari dia menangis. Hanya saja ibunya memberi pengertian dan  membujuknya berulang kali.

“Menikah bukan hal yang sangat penting dalam hidup Bibah. Ibu saja dulu menikah muda dengan ayahmu tanpa berkenalan dahulu. Buktinya ayah dan ibu bahagia. Apalagi Keluarga Pak Bambang banyak berjasa dulu waktu ayahmu masih melarat. Beliau yang mengajak ayahmu  menjadi kontraktor dan meminjami seluruh permodalan serta mencarikan order proyek” begitu kata ibunya mengiba – iba. Dan akhirnya dengan beragam penjelasan dan paksaan dari orang tuanya dia menerima lamaran dari keluarga teman bapaknya.

Hari selanjutnya gadis mungil itu kemudian membatu di hadapan Arman. Saling beradu pandang dan saling bisu. Hanya tangis pecah yang sanggup mengurai kata hatinya.  Kata – kata yang bermuara pada  sungai yang lapuk dengan tangis dan kepiluan yang meleleh di dadanya.

“Ada apa Bibah? Kenapa menangis?“ Tanya pemuda itu. Mereka duduk di depan sekolah setelah ujian praktek usai.

“Aku disuruh menikah dengan calon dari orang tuaku Kak“. Air matanya kemudian mengurai kepedihan demi kepedihan. Dan disambut oleh mata pemuda berkaca – kaca, tapi tak ada satu air matanya yang rontok. Semuanya ia tahan di kelopaknya, ia tak mau cengeng. “Bukankah pecinta adalah manusia yang tangguh” kata – kata itu selalu menggurat dalam jiwanya.  Dan kebisuan menemani mereka begitu lama.

“Bibah, jika kau memang mencintaiku, aku pun akan mencintaimu dengan hati yang serupa. Tapi perintah orang tua tak boleh kita tolak begitu saja. Ikutlah nasehat orang tuamu!” Katanya memecah kebisuan itu.

“Dan ini aku berikan buku Percakapan Para Burung Untukmu Bibah”.

Dan perpisahan menjadikan keduanya runtuh dalam tangis. Hati mereka tercabik – cabik.  Mereka berpisah seperti pengembara asing yang saling merangkai mimpi dan melintasi jarak waktu yang tak pernah dilalui bersama kembali. Dan perpisahan itu tak ayal menyisakan kebimbangan yang dalam. Apakah taqdir akan menemukan mereka.

***

“Kini aku bertemu dengan mu  Kak Arman” desisnya lirih ketika ia menyudahi tamasya hatinya di masa lampau. Kepedihan makin dalam menggurat dasar hatinya ketika dia berjumpa setelah 6 tahun berpisah. Di sebuah lokasi wisata air terjun 2 minggu lalu ketika ia pulang dari Maluku dia menemukan pemuda itu  sedang berdiri memandangi air terjun.

“Aku belum menikah Bibah” Sepotong kata itu seperti mengiris hatinya dengan sembilu. Bibah merasa kalah sebagai pecinta.

“Nama habibah artinya pecinta” begitu jawab Pak Muhson guru agamanya di SMA dulu ketika dia bertanya mengenai arti dari namanya. Kini ia merasa malu menggunakan nama itu, sepertinya nama itu selalu mencerca kelemahan hatinya menerima pemuda lain yang mengembara di atas tubuhnya dan melalui rahimnya melahirkan seorang anak. Kini ia merasa tak pernah belajar terbang melalui lembah – lembah dari perjalanan pecinta yang digambarkan buku yang dihadiahkan kepadanya. Dia merasa hanya menjadi pecinta yang dengan mudah ditaklukkan oleh perasaan, rayuan dan balas jasa kedua orang tuanya.

“Kak Arman mungkin kaulah salah satu burung dari Manthiq At-thair  yang berhasil terbang menjelajah lembah kesetiaan tanpa awal dan tanpa akhir. Kaulah yang mengabadikan cinta dalam nafas perjalanan yang melelahkan. Dan aku hanyalah burung – burung yang tak pernah berani meneruskan perjalanan hatinya.” Begitu lirih kata – kata itu terucap dari bibirnya, mungkin dia merasa tak seorangpun perlu mendengar kata – kata itu, termasuk suaminya yang saat ini masih di pulau seberang.

Dan buku itu ia letakkan kembali di raknya ia menyudahi kenangan – kenangannya. Kini ia merasa hidup dalam dunia yang baru dan  dalam kecintaan yang lebih nyata. Mencintai keluarganya.

Dan aku dari jendela yang lain melihat wanita itu meraih seorang anak kecil yang baru terbangun dari tidurnya dan dengan mesra menciumnya lembut – lembut. Dan hujan mulai surut, hanya ku lihat sekawanan burung yang terbang meninggi di langit yang suram.

Dimuat di Radar Banyumas tgl 02 Mei 2010