Kembali Menjadi Homo Ecologicus


Manusia memiliki banyak sebutan. Ia hidup bersama di masyarakat dan saling membutuhkan, lantas ia disebut sebagai makhluk sosial (homo sociologicus atau zoon politicon). Di samping itu karena manusia juga bekerja dan mencari nafkah, maka ia disebut sebagai makhluk ekonomi (homo economicus). Ada lagi, karena manusia bertuhan, maka ia disebut homo religiosus. Manusia yang peduli terhadap lingkungan, maka ia disebut homo-ecologicus.

Di dalam Islam, untuk menjelaskan tentang peran manusia, terdapat tiga hubungan manusia, yakni hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminallah),  hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas), dan hubungan dengan alam. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang multi-dimensi. Setiap hubungan itu memiliki cara dan aturan yang berbeda.

Dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia diperintahkan untuk bersembahyang dan menunaikan ibadah-ibadah lainnya sesuai aturan atau syariat. Demikian pula dalam berhubungan dengan manusia lainnya terdapat budaya, etika, hukum, serta aturan-aturan lainnya. Ini menuntut sebuah kesepakatan. Sedangkan dalam berhubungan dengan alam, manusia dituntut untuk hidup selaras dengan alam. Ada prinsip-prinsip yang ditekankan dalam Islam, misalnya, untuk tidak melakukan perusakan, prinsip kebersihan sebagian dari iman, tidak serakah, dan sebagainya.

Dominasi homo economicus

‘Wajah’ manusia selama ini nampak sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) saja. Bahkan—meminjam istilah Andang Binawan (Diskursus, vol.9 No.2 Oktober 2010)—sudah menjadi homo techno-economicus, yakni ‘wajah’ manusia yang didominasi oleh paradigma ekonomi dan teknologi. Sejak revolusi industri di Eropa hingga sekarang aktivitas ekonomi manusia mengalami peningkatan secara drastis. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran mengatasnamakan kemajuan terus dilakukan. Semangat kapitalisme dari Barat turut meningkatkan penggunaan energi fosil sebagai energi yang banyak dipakai.

Alhasil pembakaran energi fosil yang berupa karbondioksida mengendap di atmosfer selama puluhan tahun. Sebagaimana diketahui karbondioksida adalah satu dari enam gas rumah kaca yang berpotensi menimbulkan pemanasan global yang kemudian mengakibatkan perubahan iklim. Para ahli iklim mencatat peningkatan konsentrasi karbondioksida akan meningkatkan suhu bumi (National Climatic Data Center/NOAA: 2010). Konsentrasi karbondioksida di atmosfer pada 2010 sebesar 390 ppm. Proyeksi 35 tahun mendatang konsentrasinya akan menjadi 400 ppm. Peningkatan lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia (antropogenik) daripada secara alami. Artinya suhu bumi akan makin meningkat bila tidak ada upaya nyata dari warga dunia.

Sementara itu tak ada upaya menuju keseimbangan terhadap alam. Kalau di negara-negara maju industri menempati posisi pertama penyumbang emisi karbondioksida, sementara pemilik hutan terbesar seperti Indonesia dan Brazil terus melakukan deforestasi atau penebangan hutan, penggundulan, dan pembakaran. Untunglah COP ke-16 di Cancun Mexico dua bulan silam menyepakati mekanisme REDD (reducing emissions from deforestation and degradation) atau Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan yang diharapkan menghentikan laju deforestasi.

Namun, tetap saja kondisi bumi akan mencemaskan bila sistem ekonomi yang sekarang (baca: kapitalisme) masih dipertahankan. Dalam World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss baru-baru ini, Sekjen PBB Ban Ki-moon menyatakan bahwa Dunia butuh Revolusi, jika model ekonomi baru, yang berkelanjutan dan bisa ditopang planet ini, tak segera ditemukan, dunia sama saja sedang menyepakati ”pakta bunuh diri global”. ”Kita perlu revolusi. Berpikir revolusioner. Aksi revolusioner. Sebuah revolusi pasar bebas untuk keberlanjutan global” ujar Ban Ki-moon. (www.un.org).

Tanpa aksi revolusioner, kita ingat cuaca ekstrim panas yang melanda Rusia, India, Pakistan, dan China pada 2009-2010. Akibatnya bukan hanya gagal panen pada pertanian, tapi tewasnya ribuan orang. Sementara Brazil dan Australia awal tahun ini kebagian bencana banjir yang terburuk. Indonesia tak kalah miris, banjir terus terjadi di pelbagai daerah. Apakah kita akan membiarkan bencana demi bencana menerjang bumi kita?

Wajah Homo Ecologicus

Belum ada solusi yang cespleng mengatasi krisis iklim selama cara dan gaya hidup manusia tidak berubah. Kita perlu mempertimbangkan bahwa tanpa bumi yang sehat, mustahil kita melakukan aktivitas ekonomi secara nyaman. Dengan demikian setiap manusia hendaknya menunjukkan ’wajahnya’ sebagai homo-ecologicus, manusia yang peduli pada lingkungan dalam setiap gerak hidupnya. Menurut Henryk Skolimowski (dalam Living Philosophy, 1992), homo ecologicus memegang nilai-nilai : (1) penghormatan (reverence), (2) tanggung jawab (responsibility), (3) hemat (frugality), (4) keberagaman (diversity), (5) keadilan untuk semua (eco-justice).

Dipublikasikan di Harian Wawasan 25/3/2011

Penulis: Akhwan J Saputra,

Fellow Presenter The Climate Project Indonesia