Hegemoni AS Berakhir?


Dalam pelbagai bidang AS selalu terdepan dan mendominasi segalanya. Tidak semata-mata sebagai salah satu negara berpenduduk terbesar, melainkan juga terkuat dalam pengaruh entah dalam ekonomi, politik, dan (bahkan) budaya. Sangking kuatnya pengaruh AS hampir-hampir menjadi kiblat seluruh bangsa-bangsa di dunia. AS kian hegemonik, terutama dalam determinasi ekonomi global.

Melalui lembaga-lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia), sejak 1974 bersama-sama dengan Inggris (PM Margareth Theacher), AS (Presiden Ronald Reagan) memaksakan pengaruhnya kepada negara-negara miskin dan berkembang agar mengikuti resep-resep ekonomi yang telah disusunnya.

Dalam jangka waktu tertentu kelihatannya resep-resepnya amat bermanfaat bagi negara-negara yang ditolongnya. Namun, tidak sedikit negara-negara yang makin terpuruk akibat resep yang dikenal dengan Liberalisasi, Privatisasi, Deregulasi tersebut. Beberapa negara miskin bahkan masuk dalam kategori pengutang terbesar. Beberapa lainnya tak mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya karena anggaran belanja negaranya terkonsentrasi untuk membayar utang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah heterogen sebuah bangsa tidak bisa diselesaikan dengan resep yang sama.

Di dalam negerinya sendiri, sejak kredit macet menimpa bisnis properti dan belakangan menjalar ke invetasi dan perbankan, AS terheran-heran dengan gejala-gejala yang menunjukkan ke arah krisis. Maka, tak tanggung-tanggung untuk menyelamatkan ekonomi negerinya pemerintahan George W Bush menggelontorkan paket bailout 700 miliar dollar AS. Perusahaan-perusahaan jasa keuangan yang selama ini menjadi raksasa ekonomi dunia di AS mengalami krisis, mulai dari Merril Lynch, Goldman Sachs, Morgan Stanley, AIG, hingga Lehman Brothers yang bangkrut pada 15 September 2008 lalu.

Baru-baru ini senat AS menolak bailout alias dana talangan sebesar US$ 14 miliyar untuk ”the Big Three” alias tiga perusahaan otomotif terbesar di AS: General Motor, Chrysler, dan Ford. (DetikFinance.com,12/12/2008).

Dengan pelbagai gejala di atas apakah publik dunia masih menganggap AS sebagai negara adidaya yang serba tahu dan serba bisa?

Kiblat ekonomi

”Cobaan” yang sedang melanda ekonomi AS dan berimbas ke seluruh dunia seperti sekarang ini menunjukkan bahwa integrasi ekonomi global tidak selalu menguntungkan—terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang. Di samping itu kekayaan yang seolah tak terbatas dan beranak-pinak melalui bank-bank investasi tampaknya akan berhenti pada batas-batasnya sendiri. Dan, ”tangan-tangan tak terlihat” yang menjadi ideologi pasar bebas kelihatannya capek bekerja bersama para pelaku ekonomi dunia yang kian rakus.

Sisi lemah yang secara vulgar nampak mendera pemerintahan AS akhir-akhir ini, mustinya memberi pelajaran bagi calon negara-negara kuat seperti China dan India. Kebesaran sebuah bangsa dalam bidang ekonomi tak ubahnya seperti balon karet. Semakin ia ditiup makin membesar. Namun bila terus ditiup, maka pada batas tertentu ia akan meledak. Analogi di atas pantas ditujukan untuk perkembangan ekonomi AS belakangan ini.

Mungkin AS belum meledak, apalagi berkeping-keping. Fondasi ekonomi AS masih cukup kuat untuk menopang krisis yang makin menjadi-jadi. Hanya saja, krisis yang sedang berlangsung ini sedikit mereduksi kepercayaan publik dalam dan luar negeri. Secara ekstrim, krisis tersebut bisa menggoyang dan mengeser hegemoni AS, yang selama ini pengaruhnya kokoh menancap di seluruh dunia. Lalu, bangsa mana yang akan menggeser sang hegemon?

China dan India disebut-sebut bakal menggantikan AS, dengan tetap menggunakan pasar bebas sebagai sistem. Artinya, (Neo)liberalisme ekonomi belum terbukti gagal total. Melalui pengajaran di universitas-universitas, dan masih eksisnya lembaga keuangan multilateral, (Neo)liberalisme akan terus hidup dan dihidupi sampai waktu yang tak terhingga, setidaknya sampai AS terbukti mampu bertahan terhadap krisis, syukur-syukur ekonomi AS bangkit kembali. Jadi, tidak benar bila ada yang mengatakan (Neo)liberalisme telah mati.

Untuk membuktikan bahwa (Neo)liberalisme wafat, musti menunggu keruntuhan ekonomi AS luluh lantak. Hingga muncul –isme yang baru. Memang gejala krisis keuangan di AS bisa menjadi indikator kegagalan bekerjanya ”invisible hands” hingga memaksa pemerintah AS melakukan intervensi melalui paket 700 miliar dollar AS. Hanya saja, pasar bebas masih terlalu seksi untuk ditinggalkan oleh para penganutnya.

Konsekuensi logis

Rezim pasar bebas memungkinkan para pelaku pasar mengoptimalkan potensinya sebagai ”homo-oeconomicus” secara tak terbatas. Bagaimana tidak, ekonomi dunia dipacu sangat kencang dan tak terkendali. Hingga memunculkan banyak manusia-manusia kaya. Dari pengusaha minyak, pertambangan, telekomunikasi, hingga pengusaha rokok. Konsekuensi logis dari sistem demikian tak lain adalah ekonomi dunia dalam keadaan berisiko tinggi, sekaligus sulit dipastikan. Di sisi lain kesenjangan antara kaya dan miskin makin lebar.

Dalam dimensi lingkungan hidup, akibat aktivitas ekonomi yang dipacu secara kencang membuat bumi ini makin panas. Usaha-usaha ke arah pengereman pemanasan global memang terus dilakukan, tetapi apabila laju industrialisasi tetap tak terkendali nampaknya akan sia-sialah usaha-usaha tersebut.

Harus diakui bahwa globalisasi ekonomi dengan kapitalisme sebagai panglimanya, dan krisis keuangan sebagai konsekuensi logisnya, bagaimanapun masih memberikan harapan meski kadang-kadang semu. Namun inilah satu-satunya sistem yang tersisa dan mampu bertahan di abad ini yang harus diterima secara taken for granted. Adakah alternatif lain yang lebih memenuhi rasa keadilan terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang?

Yang diperlukan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah memperkuat fondasi ekonomi nasional, terutama sektor riil. Itu saja belum cukup. Karena globalisasi memberi peluang bagi siapapun, maka Indonesia musti memperoleh keuntungan dari globalisasi, bukan sekadar mendapatkan imbas globalisasi yang seringkali mengancam perekonomian nasional. Bagaimana memperolehnya? Pemerintah musti membuat semacam cetak biru strategi nasional menghadapi globalisasi. Tidak pasrah pada keadaan yang tak menentu. Dan, tidak hanya mengandalkan reaksi jangka pendek.

Penulis: A Jaya Saputra,
Pegiat di Nyalaterang Institute,