PADA PERNIKAHAN KEDUA


Oleh: Sigis Ustiyaningsih

“Ning segeralah menikah, umurmu kan sudah 32 tahun..” katanya padaku suatu sore.

“Kenapa mba, sepertinya begitu penting arti pernikahan?” tanyaku dengan ketus pada wanita disampingku ini. Sungguh kata – kata paling aku benci saat ini adalah menikah. Apalagi nasihat menikah mesti dikaitkan dengan umurku yang kasep nikah “ bihh… “ apa tidak ada yang lain yang di inginkan orang dariku. Tapi aku mencoba menelan pil pahit itu selama ini.

“Ya memang penting” jawabnya simpul.

“Menikah itu menguatkan kehidupan, coba saja jalani hidupmu sendiri sampai masa tua tentu kau akan merasa kesepian. Apalagi dirimu sudah bekerja, hidupmu yang makin berumur harus didampingi oleh seorang lelaki sebagai suamimu,” lanjutnya.

“Aku tak pernah merasa kesepian mbak, aku sudah punya rumah sendiri. Dan segalanya toh  bisa aku urus sendiri” jawabku dengan bangga. Aku ingin menyatakan bahwa wanita pun mampu hidup sendiri tanpa tergantung dengan lelaki. Mba Midah merupakan sepupu tertuaku  yang sering aku kunjungi ketika pulang dari perantauan. Aku tahu nasehatnya kali ini padaku mesti atas permintaan bapak dan ibuku. Keduanya mungkin deretan orang yang sudah bosan “memaksaku” supaya cepat berkeluarga tapi selalu saja aku memiliki alasan untuk menolak.

“Itulah yang aku takutkan, ketika kau merasa nyaman dengan kecukupan materi, berkeluarga makin jauh kau rencanakan”

“Tapi bukankah mba sendiri juga tak menikah lagi?” tanya balikku padanya.

“Jangan tanyakan itu. Aku sudah memiliki seorang anak dari perkawinanku yang pertama.Si Adi, anakku  kini kelas 3 SMA  jadi tak ada yang perlu aku risaukan”.

Menurut cerita ibu dulu Mba Midah memang pernah menikah dengan seorang lelaki. Aku dengar namanya Subhi, orang dari desa sebelah. Nasibnya pernikahannya tak langgeng. Bagaimana tidak? Ketika sedang mengandung 7 bulan suaminya mencoba peruntungan bekerja keluar negeri dengan menjual sawah warisan Mba Midah untuk biaya pengurusan visa. Tapi ternyata suaminya menikah lagi dengan gadis asli negeri seberang. Sudah 17 tahun berlalu tapi Mba Midah tak juga menikah. Kini wanita luwes dihadapanku ini  ini sudah setengah baya, tapi guratan kecantikan masih tersisa di wajahnya yang tirus.

Rumah mungil miliknya berdiri di belakang rumah orang tuaku. Memang hanya dua kamar dan belum sepenuhnya selesai. Yang membuatku kagum rumah itu ia bangun dengan penghasilan sendiri. Toko kelontong yang di kelolanya cukup laris. Itulah yang membuatnya  banyak berubah. Dulu ia ku kenal sebagai janda muda yang banyak meratapi diri ditinggal suami. Kini dia lebih mandiri dan memiliki watak yang tegak dalam hidup termasuk mendalami dan memaknai keluarga.

“Ning, kau kan masih memiliki kedua orang tua, bapak ibumu sehat?”

“Iya mba, keduanya sekarang mulai sakit – sakitan.”

“Nah itu maksudku?”

“Sini duduklah kesamping ku..” ajaknya dengan ramah menggeser kursi  disampingnya.

Seperti kerbau yang dicocok hidungnya dengan taat  aku beralih duduk di  dekatnya.

“Ketika menikah dulu mbakmu ini sudah  tak memiliki kedua orang tua. Sehingga ketika rumah tanggaku ada masalah aku begitu shock, tak ada tempatku meminta nasehat. Yang jelas aku  sangat membutuhkan dukungan orang tua,”  ujarnya dengan kesungguhan.

“Kau pernah dengar petuah pinisepuh yang berbunyi  wuwur, tutur dan sembur?” tanyanya lebih lanjut.

“Belum mba, aku belum pernah mendengarnya” jawabku jujur.

“Dalam keluarga, kebahagiaan orang tua itu menyaksikan pernikahan anaknya. Sehingga tak segan – segan mereka memberikan modal materi, nasihat perkawinan dan  doa yang tak terkira. Kau itu sungguh beruntung  masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan keberkahan dari orang tuamu tentang itu Ning. Maka segeralah rnenikah”.

“Mba jangan mengguruiku terus. Aku itu sudah bosan dengan paksaan orang untuk menikah. Hidup ini milikku, bukan milik siapapun dan aku berhak untuk menjalaninya dengan caraku. Menikah atau tidak itu urusanku, bukan urusan Mbak Midah!” balasku dengan marah.

“Jangan ikut campur urusanku titik!”

Brakk..

Ku tinggalkan rumah itu dengan segera.

Ibuku terbengong melihat aku menangis waktu masuk kamar. Di kamar ku pandangi diriku berkali – kali di kaca. Ku usap air mataku, ku rapikan rambutku kembali. Ku sentuh wajahku memang ada sedikit garis keriput di bawah mataku. Tapi aku merasa belum cukup tua. Aku amat tersinggung dengan kata- kata Mba Midah.

Ketika malam tiba kegelisahan mendatangiku,  aku merasa kata – katanya ada benarnya juga. Serasa aku hanyut dalam nasihat yang sore tadi aku tolak mentah – mentah. Tentu  membahagiakan orang tua merupakan keinginanku. Dan memang apa yang di katakannya tiada yang keliru. Berulang kali bapak dan ibu menyarankanku menikah secepatnya. Umur 32 tahun di desa memang membuatku memiliki predikat yang menyakitkan “ wanita yang kasep menikah”.

Aku memang pernah bertunangan dengan teman semasa kuliah, tapi dia meninggalkanku tanpa kabar berita. Itulah yang membuatku merencanakan hidup tanpa lelaki.

****

Pagi harinya ku tinggalkan desaku, di perantauan aku lebih nyaman. Kerja dan melupakan segalanya itulah yang sering aku lakukan untuk menghapus luka batin wanita yang meradang. Dan di kota tak kan ada yang akan menasehatiku dan peduli dengan urusan hidup seseorang. Mungkin itulah yang membuatku mampu bertahan di kota dengan ribuan pabrik dan cerobong asap.

Hingga delapan bulanan berlalu ku tuntaskan dahagaku akan kerja dan pengumpulan rupiah demi rupiah. Sampai satu ketika ku dengar suara telpon.

“Kring kringg..”

“Kriii..ngg ……”  bunyi telpon itu mengganggu tidurku, tak hentinya di bordering.

“Assalamu’alaikum..” suara dari seberang.

“Waalaikum salam, ini siapa yah?” Tanyaku.

“Ini aku Mba Midah Ning, 1 minggu tanggal 21 April  ini aku akan menikah, kamu datang yah?”

“Menikah dengan siapa mba?”

“Pokoknya Ning wajib datang saja, nanti akan aku kenalkan besok,  Sudah yah..”

Suara renyah itu berlalu, hanya saja aku heran mengapa Mba Midah menikah secepat itu. Aku penasaran siapa calon suaminya.

Seminggu kemudian aku pulang kerumah orang tuaku. Sesampainya di sana ku tanyakan ke  ibu. “ Bu apa benar Mba Midah mau menikah, dengan siapa?”

“Betul rencananya besok, kau pulang atas undangannya kan?” jawab ibuku.

“Ibu saja ndak tahu siapa calon suaminya, hanya saja kabar yang beredar katanya calon suaminya itu perantauan dari luar negeri.”

“Perantauan” . batinku.

Janur kuning di depan rumahnya berkibar, suasana kegembiraan dan magic menyeruak dalam alunan gending – gending jawa. Sebuah suasana yang paling tak aku sukai, jelas saja melihat suasana perkawinan membuat hatiku begitu teriris.

Ku cari Mba Midah di kamar belakang, ternyata dia sedang di dandani untuk bersolek.

“Akhirnya kau datang juga Ning,, sini duduk disini..” kataya waktu ku sampai didepan kamarnya.

“Selamat ya mba! siapa calon suaminya mba ? ”

“Bik tolong panggilkan calon manten kakung ”

Bik Yati keluar dari kamar dan masuk dengan seoraang lelaki yang menggunakan jas hitam. Lelaki setengah baya, serasa ku mengenalnya waktu masih kecil, “ Mas Subhi!” pekikku tak percaya.

“Betul Ning ini Mas Subhi, suamiku yang pertama yang dahulu meninggalkanku. Kini dia sudah bercerai dengan istri keduanya. Bulan lalu dia datang untuk meminta maaf dan  melamarku kembali”.

“Dan Mba Midah menerima, kenapa Mba?” tanyaku dengan sedih.

“Karena aku masih menginginkannya.” Jawabnya dengan mantap.

Aku masih saja mematung dan serasa tak percaya ketika Mba Midah menyelesaikan dandanannya, pun ketika keduanya mengucapkan ijab kabul pernikahan di hadapan petugas KUA. Begitulah kehidupan, seringkali dijalani tanpa ragam alasan. Mungkin saja Mba Midah telah melupakan masa lalu atau bisa juga berdamai dengan hatinya. Tapi aku melihat kebahagiaan  dalam pernikahan keduanya.

Hari itu aku merasa harus mengokohkan hatiku, ku lihat wajahku kembali di kaca. Hanya saja di kaca itu kulihat diriku terpantul bersama dengan sesosok lelaki dengan wajah sumringah dari masa lalu di bangku kuliah.

Dan gending banyumasan itu bertalu lebih indah digendang telinga, seolah mengajak hatiku untuk menari dalam nada – nada yang serupa.

* Sigis Ustiyaningsih, Pengelola Taman Bacaan Bintang Kejora

Dimuat di Radar Banyumas Tanggal 28 Maret 2010

Sigis Ustiyaningsih, S.Pd

Guru MTs. Mafatikhul Huda

Desa Jogosimo, Kec. Petanahan,

Kab. Kebumen