Menebar Etos Altruisme


“Penggunaan uang yang terbaik bukan dengan menghasilkan lebih banyak uang, tetapi membuat uang menjadi lebih berguna bagi kehidupan”– Henry Ford (1863-1947).

Pada dasarnya manusia memiliki sifat dermawan, memiliki rasa iba terhadap sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, melihat orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, maka ia akan terketuk hatinya untuk menolong. Tentu dengan kadar dan kemampuan yang berbeda-beda.

Peristiwa yang cukup menghebohkan yang menimpa Prita Mulyasari, cukup menjadi bukti bahwa manusia Indonesia memiliki rasa iba terhadap penderitaan orang lain. Berjuta keping koin terkumpul dari pelbagai penjuru daerah. Begitu mudah ratusan juta rupiah terkumpul dalam waktu sekejap.

Lalu menyusul kemudian bocah bernama Bilqis yang membutuhkan pertolongan agar penyakitnya dapat disembuhkan melalui operasi cangkok hati. Jutaan rupiah terkumpul dengan mudah untuk pengobatannya.

Sesungguhnya banyak sekali peristiwa yang sama atau bahkan lebih parah dari dua peristiwa di atas. Dan, mereka juga membutuhkan empati dari berbagai pihak. Namun karena tidak terungkap oleh publik, maka seolah tidak terjadi apa-apa.

Cerita tentang penderitaan manusia di negeri ini atau bahkan di atas bumi ini tidak akan pernah selesai. Itulah mengapa Tuhan menciptakan manusia agar manusia saling mengenal dan tolong menolong dalam kebajikan. Namun, cerita tentang  penderitaan menemukan jalannya sendiri-sendiri. Ada yang sukses mendapat empati banyak pihak. Sebaliknya, tak sedikit yang harus berakhir mengenaskan.

Untuk mendapatkan empati dari banyak pihak ternyata diperlukan usaha-usaha layaknya memasarkan sebuah produk. Ia musti mendapatkan tempat dalam pemberitaan. Setidaknya ini yang dilakukan para simpatisan Prita Mulyasari. Mereka mengkampnyekan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik, terutama melalui situs jejaring sosial facebook. Tercatat ada 1.285 anggota di grup peduli Prita Mulyasari. Di samping disiarkan terus menerus di media televisi.

Penggalangan Dana
Ungkapan seorang filantropist pada awal tulisan ini turut menggugah kesadaran jiwa sosial umat manusia di bumi ini. Maka dalam upaya membuat uang lebih berguna bagi kehidupan, kegiatan penggalangan dana (fund rising) amat diperlukan.

Penggalang dana ibarat jembatan antara pemberi dan penerima sumbangan. Sebagai jembatan, keberadaannya amat penting dan menentukan. Dibutuhkan sikap profesional darinya. Dalam organisasi modern pengelolaannya diserahkan seorang profesional di bidangnya. Seperti Bantuan Kemanusiaan Kompas, Dompet Dhuafa Republika, Peduli Indosiar, dan lainnya.

Penggalangan dana akan meringankan kedua belah pihak. Penerima sumbangan tak perlu bersusah payah menghimpun dana yang dibutuhkannya. Sedang si pemberi sumbangan juga tidak perlu repot-repot mencari penerima sumbangan. Apalagi bila si pemberi merasa memiliki kewajiban menyisihkan sebagian hartanya untuk disedekahkan.

Kini semakin banyaknya warga yang tergabung dalam situs jejaring sosial, mustinya memudahkan penyebaran sikap altruisme. Dalam istilah antropologi Altruisme adalah sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain (KBBI edisi ketiga).

Disseminasi altruisme
Masalah bangsa kita dan juga masalah di negara-negara berkembang pada umumnya adalah kemiskinan dan pengangguran. Dua hal tersebut, dari dulu hingga sekarang seolah tidak pernah minggat dari bumi ini. Dari pemerintahan Soekarno hingga SBY, dua hal tersebut selalu menjadi masalah pokok.

Para ahli ekonomi dan pembangunan pun tak henti-hentinya menelurkan resep-resep mujarab untuk keluar dari dua hal di atas. Pada tataran teoritis ada ”perang” ideologi. Mazhab sosialisme dibenturkan dengan kapitalisme, negara atau pasar. Yang mutakhir adalah Neoliberalisme vs ekonomi kerakyatan. Neoliberalisme, yang digagas Frederick von Hayek 60 tahun lalu, kini menginspirasi para ekonom di banyak negara. Namun, rakyat kebanyakan tidak paham dan memang tidak butuh itu. Toh yang tampak di mata mereka pada akhirnya adalah persoalan moralitas para penyelenggara negara, korup atau tidak.

Terbukti dari dulu hingga sekarang para penyelenggara negara—dan ahli ekonomi—tak mampu menawarkan kebijakan kesejahteraan yang langgeng. Orang harus hidup dengan risiko (Anthony Giddens, 1990). Dan, memang tak satu pun ekonom mampu menawarkan resep yang manjur. Apapun pilihan jenis sistem ekonominya, hendaknya tidak melupakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Di saat negara tak bisa menjadi sandaran, etos altruisme masyarakat hendaknya ditumbuhkembangkan.

Bagi Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota, etos itu bisa diwujudkan dengan membuat kebijakan yang mengarah pada pembukaan lapangan pekerjaan baru untuk para pencari kerja. Bukan malah ”memarkir” duit APBD di bank-bank untuk diambil bunga dan bonusnya. Apalagi  menelantarkan para pedagang kaki lima.

Hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang kaya. Sebagaimana ungkapan Ford pada awal tulisan ini. Maka jadikanlah uang Anda lebih berguna bagi kehidupan. Bukalah lebih banyak lapangan pekerjaan. Atau tumbuhkanlah lebih banyak Entrepreneur. Kelak mereka akan melakukan hal yang sama bagi yang membutuhkan pertolongan. Agama manapun memerintahkan hal serupa: mengasihi sesama manusia dan saling menolong.

Penulis: Akhwan J Saputra
Pegiat di Nyalaterang Institute, Tinggal di Pekalongan.

Tentang nyalaterang
blog keilmuwan murni dengan pemikiran murni dan hati yang murni

Tinggalkan komentar