MENENGOK PERJALANAN GOOD GOVERNANCE DAN REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA


Penulis: Istiono, S.Sos

Pengantar
Gerakan reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia sejak 1998 yang dimotori oleh kalangan mahasiswa dan kaum reformis dinilai membawa perubahan yang signifikan terdapat perjalanan pemerintahan di Indonesia, bahkan cakupannya dipandang terlalu luas dan terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia ini.
Perubahan radikal tersebut termanifestasi dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian dalam perjalannya direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat strategis dan monumental dalam pembaharuan pemerintahan di Indonesia, yaitu diawali dengan perubahan dari paradigma pemerintahan yang sentralistis berubah menjadi paradigma desentralistis, dimana proses desentralisasi pada intinya adalah sebuah proses yang memungkinkan daerah untuk berkembang dengan berbasis pada prakarsa lokal (daerah).
Mengingat telah terjadinya perubahan paradigma pemerintahan yang ada di Indonesia tersebut, maka pekerjaan yang mutlak dilakukan oleh pemerintah Indonesia selanjutnya adalah mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan melakukan reformasi birokrasi sebagai rangkaian usaha pemerintah untuk perwujudan pemerintahan yang demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kondisi dan perjalanan good governance dan reformasi birokrasi di Indonesia?

Mengapa good governance belum berjalan?
Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu mengembangkan good governance (Sofian Efendi : 2007). Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa reformasi pemerintahan negara yang demikian luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum juga berhasil mewujudkan good governance yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi krisis yang sudah melanda bangsa ini sejak 1998? Mengapa kita belum seberhasil? Malaysia, Thailan atau Korea Selatan yang telah mampu keluar dari krisis ekonomi yang sebenarnya lebih parah?
Ada beberapa faktor penyebab, yang paling utama adalah karena pemerintah Indonesia sejak orde reformasi ini melaksanakan good governance dan reformasi birokrasi hanya setengah hati dan belum dilakukan secara komprehensif dan sesuai dengan semangat perwujudannya. Perwujudan good governace di Indonesia selama ini masih dimaknai secara terbatas sebagai gerakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan belum menemukan format perwujudan yang sejatinya, padahal pada hakekatnya good governance tidak hanya persoalan pemberantasan KKN semata, walaupun pemberantasan KKN merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan good governance.

Nilai-nilai yang harus dipenuhi dalam perwujudan good governance masih belum sepenuhnya dapat dijalankan oleh pemerintahan Indoneisa sampai sekarang. Sedangkan pelaksanaan reformasi birokrasi juga belum dilakukan pemerintah Indoensia sepenuhnya, reformasi birokrasi yang mensyaratkan adanya perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin tata good governance yang amanah dapat dikembangkan dan mampu menjawab berbagai persoalan pemerintahan di Indonesia

Memahami good governance
Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira kira 1125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya.
Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih. Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa (Sofian Efendi : 2007).
Konsep government atau pemerintahan identik atau berkonotasi dengan peranan pemerintah yang menempatkan dirinya dengan lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas kenegaraan dan menempatkan dirinya pada posisi yang sentral diantara berbagai stakeholder pemerintahan yang lain di luar pemerintah. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dengan cara-cara tertentu seperti sharing of power dan lain sebagainya. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan.

Good governance adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu tata pemerintahan yang baik. Oleh karena itu good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Good governace hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik.

Konsepsi good governance mensyaratkan adanya tiga pilar pelaku utama yaitu: (1) Negara (state). Negara berperan untuk menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil, membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan, menyediakan pelayanan publik (public service) yang efektif dan accountable, menegakkan HAM, melindungi lingkungan hidup, serta mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik. (2) Sektor Swasta (private). Sektor swasta dan golongan usaha berperan untuk menjalankan industri, menciptakan lapangan kerja, menyediakan insentif bagi karyawan, meningkatkan standar hidup masyarakat, menaati peraturan, transfer ilmu pengetahuan dan tekhnologi kepada masyarakat, memelihara lingkungan hidup dan menyediakan kredit bagi pengembangan UKM. (3) Masyarakat Madani (civil society). Masyarakat madani berperan untuk menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi, mempengaruhi (advokasi) kebijakan publik, sebagai sarana cheks and balances dari pemerintah, mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah, mengembangkan SDM, dan berperan sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
Terwujudnya good governance adalah adanya kondisi dimana terjadi kolaborasi antara ketiga pilar good governance tersebut di atas. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa dari ketiga pilar pelaku good governance tersebut, negara (pemerintah) memegang peranan yang paling penting, dimana negara (pemerintah) melalui birokrasilah yang berperan menjadi fasilitator untuk menjalin kolaborasi antar ketiga pilar good governance, karena negara/pemerintah telah mempunyai legitimasi yang kuat dari rakyat untuk dapat mengambil regulasi kebijakan yang dapat berdampak besar terhadap efisiensi dan efektifitas kedua unsur good governance yang lainnya.

Demikian juga dalam perwujudan good governance, Negara (pemerintah) juga berperan sebagai regulator kebijakan publik. Melalui kebijakan yang efektif, efisien dan terarah, pemerintah dapat mendorong adanya sinergi dan kolaborasi antara dua unsur yang lain untuk dapat memerankan fungsinya secara maksimal dalam menyongsong pemerintahan berdasar atas prinsip-prinsip yang ada dalam good governance.
Kunci utama memahami good governance, menurut Koesnadi Hardjasoemantri (2003), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya, bertolak dari prinsip-prinsip tersebut maka didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a. Partisipasi masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif
b. Tegaknya supremasi hukum (Rules of Law)
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparansi:
Transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
d. Peduli pada stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

f. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
g. Efektifitas dan efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
h. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
i. Visi strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Dengan demikian, konsep good governance pada dasarnya menginginkan adanya pelibatan banyak pihak dalam tiap proses jalannya pemerintahan, yaitu mulai dari tahap perumusan kebijakan sampai dengan tahapan implementasi dan evaluasi kebijakan yang menyangkut kehidupan masyarakat. terkait dengan hal tersebut, dalam konteks good governance, perbincangan tentang pelaksanaan otonomi daerah tidak sekedar berbicara tentang adanya desentralisasi vertikal saja (yaitu pengalihan wewenang dari pusat ke daerah) tetapi juga desentralisasi horisontal (yaitu pengalihan wewenang dari pemerintah ke pihak di luar pemerintah).
Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa di masa yang akan datang, Indonesia yang kita cita-citakan amat memerlukan good governance agar kita dapat menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai dengan praktek-praktek yang diterima secara internasional. Pelaksanaan good governance harus sesuai dengan nilai-nilai yang diusungnya yaitu adanya pelibatan dua unsur di luar pemerintah seperti yag telah dijelaskan di atas.

Namun, perumusan\ praktek-praktek tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat memperhatikan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Jangan terjadi, Indonesia kemudian semakin terjerumus ke dalam jebakan negara asing atau lembaga internasional dalam pemilihan bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara, hubungan antara pusat dan daerah, serta dalam pengelolaan keuangan Negara (Saiful Arif:2008)

Mengikuti Gerry Stocker (dalam Saiful Arif:2008) maka kita bisa melakukan a). Pemanfaatan seperangkat institusi dan aktor baik dalam maupun luar pemerintahan; b). Penyatuan kekuatan pemerintah, sektoir swasta dan masyarakat; c). kesaling tergantungan antara ketiga kekuatan tersebut; d). terbentuknya jaringan tersendiri antara ketiga kekuatan tersebut; e). pemerintah cukup sebagai catalalic agent yang memberikan arahan, tidak perlu menjalankan sendiri.
Dengan adanya kesadaran bahwa dalam penataan dan penyelenggaraan pemerintahan kita harus mengacu pada konsep good governance itu, maka keterlibatan banyak pihak dalam proses kepemerintahan menjadi suatu keharusan. Dalam hal ini masyarakat sebagai salah satu pihak, namun yang paling penting, menjadi harus diberikan ruang yang luas dalam era desentralisasi ini. Sebab desentralisasi horisontal, artinya adalah pemerintah (government) sekarang tidak lagi merupakan satu-satunya institusi yang menangani semua aspek penyelenggaraan pemerintahan.
Hubungan timbal balik dan sinergisitas yang saling menguntungkan perlu dibangun antara pemerintah dengan pelaku usaha (swasta) dan kalangan masyarakat sipil. Ketiga unsur ini harus saling melegkapi satu dama lain dan menjalankan fungsinya sesuai dengan proporsi masing-masing secara profesional. Pemerintah diharapkan menjalankan pelayanan publik yang baik agar kedua unsur dalam good governance juga dapat secara efektif dan efisien menjalankan fungsi dan proporsi mereka. Untuk dapat melaksanakan pelayanan publik yang baik, maka pemerintah harus melakukan langkah reformasi birokrasi baik di level lokal maupun nasional.

Memahami Reformasi Birokrasi
Birokrasi merupakan aktor utama yang berperan dalam perwujudan pemerintahan yang bersih (clean goverment) dan tata pemerintahan yang baik (good governance). Pada posisi dan perannya yang begitu penting dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dan secara lebih makro, birokrasi telah menjadi pilar utama dalam penciptaan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara. Pemerintahan akan lebih efektif bila dikelola oleh birokrasi yang kuat, yaitu birokrasi yang professional, netral, terbuka, demokratis, mandiri serta memiliki integritas dan kompetensi sebagai abdi negara, dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Hierarkhi, impersonalitas dan rigit (kaku) dalam birokrasi, cepat atau lambat juga akan memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh aparat birokrasi. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan pemerintah gagal untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan pemerintah gagal dalam merealisasikan program-program yang telah diputuskan dan dibiayai negara. Di satu sisi, masyarakat sangat mendambakan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel, dalam arti proporsional dengan kepentingan bersama, yaitu birokrasi yang berorientasi kepada penciptaan keseimbangan antara kekuasaan (power) yang dimilikinya dengan tanggung jawab publik (public accountability) yang mesti diberikan kepada masyarakat untuk dilayani.
Reformasi birokrasi merupakan upaya yang sangat strategis, karena birokrasi pemerintah adalah tulang punggung dan ujung tombak eksistensi dan kejayaan bangsa. Reformasi birokrasi harus berhasil mencapai tujuan dengan melakukannya secara bertahap (gradual) dan terencana secara matang. Dengan reformasi birokrasi kemajuan akan lebih mudah terjadi, karena dengan reformasi birokrasi masyarakat mempunyai akses partisipasi yang lebih luas dan mereka ditempatkan pada posisi utama untuk mengukur keberhasilan pelayanan birokrasi pemerintah guna mendapatkan pelayanan terbaik (Thoha, 2001, hal 6).
Dalam reformasi birokrasi terdapat upaya-upaya dalam pembaharuan pemerintahan, seperti prinsip akuntabilitas, transparansi, professionalitas dan orientasi pelayanan publik. Finalisasi dari reformasi birokrasi adalah menciptakan clean government and good governance dalam birokrasi pemerintahan yang akan berkorelasi positif pada terciptanya pelayanan publik yang prima kepada masyarakat. Wujud dari cita-cita reformasi birokrasi adalah berupa sistem dan proses pemerintahan negara berdasarkan hukum yang merupakan perwujudan atas nilai peradaban dan kemanusiaan yang luhur, dilaksanakan dengan penuh kearifan, ketaatan sebagai aparatur negara, warga negara dan warga masyarakar dunia. (Prof. Dr. Mustopadidjaja Ar : 2003).
Perjalanan good governance dan reformasi birokrasi di Indonesia
Harus diakui, bahwa setelah satu dekade reformasi bergulir, negara kita belum juga kunjung berhasil melakukan pembaharuan (reformasi) birokrasi secara nasional. Birokrasi lebih cenderung mempertahankan status qou-nya dari pada melakukan reformasi. Padahal reformasi birokrasi merupakan subsistem birokrasi nasional dan menjadi pekerjaan penting dalam agenda reformasi politik, hukum dan reformasi secara keseluruhan di negara ini termasuk dalam mewujudkan good governance. Adanya kebijakan otonomi daerah dengan kebijakan desentralisasi, menuntut pilihan jalan reformasi dari ranah lokal, yakni reformasi birokrasi pada level pemerintah kabupaten atau kota, hal tersebut jelas menjadi alternatif jalan dan bahkan menjadi taruhan yang tersisa pada saat ini.
Adapun alasan dari pernyataan di atas adalah pertama, pilihan bentuk dan prioritas reformasi bisa lebih fleksibel berdasar atas kondisi dan karakteristik daerah. Kedua, skala perubahan yang lebih kecil di daerah membutuhkan biaya yang tidak besar artinya biaya dapat ditekan se-efektif dan se-efisien mungkin. Ketiga, posisi kabupaten/kota sebagai unit pemerintahan dasar bisa menjadi fundamen bagi perubahan di level atas (birokrasi nasional).

Dan keempat, dalam kerangka otonomi daerah, selain berfungsi sebagai unit langsung pelayanan publik, letak birokrasi itu juga berjarak lebih dekat dengan profil kebutuhan nyata masyarakat di daerah. Hal ini bisa dibuktikan dengan contoh sukses berbagai daerah sekurang-kurangnya dalam waktu dua tahun terakhir, misalnya di Kabupaten Sragen, Jembrana dan beberapa daerah lain yang telah menjadi best practices bahwa pilihan tersebut membuahkan hasil keberhasilan yang signifikan baik secara secara langsung pada internal instansi pemerintah maupun pada kesejahteraan masyarakat umum secara tidak langsung. Dengan kesuksesan melaksanakan reformasi birokrasi baik dalam level lokal (kabupaten/kota) sampai kepada level nasional, maka impian untuk mewujudkan good governance dalam pemerintahan tidak mustahil akan dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saiful. 2008. Reformasi Perilaku Birokrasi. Avveroes Community 22 April, 2008. Malang
Efendi Sofian Prof. Dr.. 2007. Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance.. http://www.sofian.staff.ugm.ac.id
Koesnadi Hardjasoemantri. 2003. Good Governance dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003
Mustopadidjaja AR, Prof. Dr. 2003. Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN (Makalah) disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Tamin, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi. Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara. Penerbit Belantika, Jakarta.

Thoha, Miftah. 2002. Reformasi Birokrasi Pemerintah. Seminar Good Governance di Bappenas, tgl 24 Oktober 2002, Jakarta.