Perempuan Mbangun Desa


Slogan “Bali Ndesa, Mbangun Desa” yang menjadi visi Gubernur Bibit Waluyo dalam membangun Jawa Tengah tak akan bermakna apa-apa apabila tidak mengikutsertakan perempuan. Indonesia memiliki sejarah panjang tentang keberhasilan dan kegagalan dalam proses mencapai tujuan pembangunan.

Tujuan pembangunan secara spesifik tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945, yakni tujuan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Konsep pembangunan yang pernah dipraktikkan hingga berakhirnya Orde Baru masih bias jender. Bahkan, setelah memasuki era reformasi sekalipun, konsep pembangunan yang ada masih melestarikan ketidakadilan jender.

Dalam konteks pembangunan daerah, khususnya Jateng, selama lima tahun ke depan slogan “Bali Ndesa, Mbangun Desa” semestinya bisa membumi. Hal ini karena kepemimpinan Gubernur Bibit Waluyo akan mendapat dukungan kuat dari Wakil Gubernur Rustriningsih. Dengan latar belakang pendidikan ilmu sosial dan ilmu politik, mantan Bupati Kebumen ini selama kampanye menekankan pada pemberdayaan perempuan.

Ada beberapa pokok persoalan yang berkaitan dengan pembangunan, khususnya di pedesaan, dan secara umum menjadi masalah pembangunan di Indonesia, yakni partisipasi perempuan. Secara kuantitatif dan kualitatif, perempuan masih terpinggirkan.

Pertama, secara struktural, perempuan di desa sangat sedikit yang terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sejak dari proses perencanaan. Ini sangat mungkin terjadi sebab hampir sebagian besar jabatan di desa dipegang oleh laki-laki. Adapun seluruh perencanaan pembangunan menggunakan pendekatan struktural.

Kedua, secara budaya, perempuan (desa) masih menjadi “warga kelas dua” setelah laki-laki. Dengan demikian, suara perempuan dalam setiap proses pembangunan di desa akhirnya juga dianggap “kelas dua”. Artinya, suara perempuan menjadi tidak terlalu penting didengar sebagai aspirasi, sekalipun itu berkualitas. Dalam kajian ilmu sosial, budaya demikian disebut sebagai patriarki.

Secara struktural dan budaya, untuk membuat perempuan memperoleh kesempatan yang sama, tidaklah mudah. Pelbagai upaya mewujudkan keadilan jender sudah sering kita dengar. Bahkan, secara kelembagaan sudah dibentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan, organisasi perempuan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam perjuangan perempuan dan keadilan jender juga makin banyak. Namun, kompleksitas persoalan di dalam pembangunan sendiri menjadikan masalah keadilan jender makin kabur dan sulit terwujud. Hal tersebut butuh proses yang lama dan berkelanjutan. Bahkan, mungkin perlu pergantian satu generasi, hingga mainstream jender bisa diterima oleh warga masyarakat.

Setidaknya untuk lima tahun ke depan, kedua masalah tersebut memerlukan perhatian khusus agar program-program pembangunan yang telah disusun dalam pelaksanaannya tidak sekadar memenuhi formalitas tahunan saja. Hal ini mengandaikan adanya kesamaan pandangan antara gubernur dan wakil gubernur dengan birokrasi yang menjadi salah satu bagian dari pelaksana program. Di samping juga masyarakat yang menjadi obyek dan subyek pembangunan.

Ini berarti memerlukan sebuah upaya internalisasi pengetahuan mengenai ideologi pembangunan. Dengan kata lain, mindset birokrasi dan masyarakat (target group) harus diubah. Tanpa upaya ini, program pembangunan yang hendak dilaksanakan tak ubahnya seperti pada zaman Orde Baru. Rakyat hanya menjadi obyek pembangunan, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah top-down. Pola demikian bukan saja akan membunuh kreativitas warga, melainkan juga akan membuat ketergantungan terus-menerus.

Menyamakan pandangan

Selain kedua persoalan di atas, “PR” yang juga tidak kalah penting adalah menyamakan persepsi di antara para kepala daerah. Otonomi daerah dejure memberi kewenangan yang mahaluas kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat kebagian peran koordinatif. Hal ini membuat gubernur dan wakil gubernur tidak memiliki kewenangan seluas bupati/wali kota. Dengan demikian, visi dan misi yang telah disusun bisa jadi tidak akan berjalan mulus.

Hal ini dikarenakan sejak diberlakukan pemilihan kepala daerah langsung masing-masing kepala daerah sudah memiliki visi dan misi yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang bisa jadi berbeda dengan visi dan misi gubernur sekarang. Jadi, bila ada kepala daerah yang tidak “nurut” apa kata gubernur, adalah sesuatu yang wajar. Itu bukan sebuah sikap perlawanan.

Sebab, memang penekanan otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada pada kabupaten/kota. Sepanjang tidak keluar dari koridor, sebagaimana filosofi otonomi daerah, yakni sharing of power, distribution of income, dan empowering of regional administration (Warsito Utomo: 2006). Hal tersebut membutuhkan kreativitas kepemimpinan dari seorang bupati/wali kota. Tanpa kreativitas kepemimpinan, atau pemerintahan dijalankan secara business as usual, daerah tak akan maju.

Upaya yang dilakukan Gubernur Bibit Waluyo mengumpulkan para kepala daerah se-Jateng beberapa hari setelah pelantikan adalah tepat, mengingat fungsi koordinatif yang melekat pada pemerintah provinsi. Selain menyamakan pandangan para kepala daerah tentang pembangunan di Jateng, upaya itu sekaligus untuk memperkenalkan visinya tentang pembangunan pedesaan seperti dalam slogan “Bali Ndesa, Mbangun Desa”.

Sebagai seorang yang berpengalaman menjadi pemimpin, mungkin tidak terlalu sulit memimpin Jateng. Namun, sebagai seorang yang berlatar belakang militer, tentu bukan persoalan mudah memimpin sebuah pemerintahan yang membutuhkan pendekatan nonmiliteristik tapi tegas, manajemen pemerintahan modern yang menekankan pada aspek good governance, serta tidak bias jender. Bersama Wakil Gubernur Rustriningsih, semoga kepemimpinan Gubernur Bibit Waluyo bisa membawa Jateng mencapai cita-cita luhur seperti tertuang dalam slogan “Bali Ndesa, Mbangun Desa”. Selamat bekerja!

AKHWAN JAYA SAPUTRA Pegiat di Nyalaterang Institute, Purwokerto, Jawa Tengah

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/1214209/perempuan.mbangun.desa.

Tentang nyalaterang
blog keilmuwan murni dengan pemikiran murni dan hati yang murni

9 Responses to Perempuan Mbangun Desa

  1. sabit says:

    siapa yang ingin nulis
    1.petani mbangun desa
    2.guru mbangun desa
    3.insinyur mbangun desa
    ………………………..

  2. akhwan says:

    satu lagi…
    4. Gubernur Mbangun Desa

  3. istiono says:

    bagaimana kalau kita saja yang Bali ke Ndeso dan mebangun deso kita sendiri. biar Temanggung menjadi terang, pergi ke ndeso bukan berarti pikirannya ndeso dan tidak ngerti apa-apa, tetapi pikiran harus tetap menglobal. perjuangan harus tetap berjalan. it’s time to change my friends…..

  4. sabit says:

    hahah…
    semua pada mau balik ndesa……
    jadi pahlawan ndesa..\
    jadi inget cerpen kiri Thoha Mukhtar yang ironi itu.

    Rupanya banyak pihak yang masih terbius dengan romantika antropologis tentang desa yang tenang, bersahaja dan mungkin juga terbelakang.\

    ada kemungkinan premis tersebut ada benarnya, tapi menurut saya yang utama dalam konsep BDMD adalah meletakkan desa sebagai gugus sosisologis masyarakat yang berdiri jadi subyek. karena jikA tidak yang sering terjadi adalah oper proyek pembangunan dari kota ke desa. ini malah cilaka bukan?

  5. akhwan says:

    Sekilas Kesan yg muncul di benak kita ketika mendengar BDMD, bahwa desa adalah entitas yg terbelakang (ndeso), yg harus dibantu. Dan, menempatkan yg bali ndeso sebagai aktor yg seolah-olah ahlinya. Mungkin iya, mungkin juga tidak!

    Kita lihat saja, apakah Mbangun memiliki makna filosofis tertentu. atau memang ini hanyalah slogan saja yg moncer sebagaimana “Mari Bung rebut kembali” dan semacamnya.

    Tampaknya oper-operan proyek sudah lazim menjadi style pembangunan negeri ini koq. Yg jadi penting adalah mau dijadikan seperti apa desa-desa yg dimaksud Pak Gubernur?

    Tahun2 depan, bisa jadi konsep pembangunan kita akan seperti rekomendasi Bank Dunia sebagaimana laporan tahunan 2008. Seperti apa?

    Untuk lebih jelasnya perlu baca laporan Bank DUnia 2008, yang mengacu pada diskursus yg sedang moncer: Geografi Ekonomi ala Paul Krugman (Pemenang Nobel Ekonomi 2008).

    Lalu bagaimana nasib BDMD?

  6. novel says:

    jadi, kapan ke bali nya???

    hheee.. pisss..

  7. akhwan says:

    @Novel: hehe… kapan-kapan…

  8. sabit says:

    gubernur mbangun ndesa…
    mari bung kita bantu…

  9. nyalaterang says:

    Mari Bung (rebut kembali ?)

Tinggalkan komentar