Post Article


silahkan masukan arikel dihalaman ini,artikel akan ditampilkan oleh admin seminggu sekali,nuhun

5 Responses to Post Article

  1. Adib Belaria Abadi says:

    Ajibarang, Nopember 2007-2008
    Serayu Rengkah

    Serayu rengkah dalam tipis warna giris alismu
    kudengar! dulu gerimis pernah membawa bau amis
    riwayat yang gugur dari malam 66’
    hanyutlah perahuperahu, dukalelana, laranestapa.

    dibawah kalimat tersemat sebuah riwayat,
    hati tetap saja mencari dimana selendang mayang
    yang telah lama hanyut bersama ayat-ayat

    kali coklat menggeliat dan menggeliat.
    menengelamkan batubatu, daundaun, musimkemusim
    dan juga rindu ayumu

    katakanlah wahai Serayu, katakanlah!
    dari hulu mana mereka terapung.

    wajahwajah gadis ronggeng dan kidung pusaka warisan nenek moyang,
    yang seputih puting jambu dan semanis bibir kekasih yang kukunyah dulu

    katakanlah wahai Serayu, katakanlah!
    dari hulu mana mereka terapung

    sesiung rindu, buih dan arus yang terus mendendangkan nyanyimu
    tentang sebait puisi yang telah pergi, entah kapan akan kembali.

    “AKANTETAPI, tanganku selalu saja menyulam,”
    mencoba mengurai benang sejarah dan filsafat diantara air dan ikan-ikan,
    semoga saja menjadi rakit dan jembatan dimana anak cucuku kelak kukawinkan.

    Ajibarang, Desember 2008

    Angsa Putih Jatuh di Lembah Baturaden

    di Baturaden, AKU menggantung
    ditusuki kenang akan sayap kekunang
    Melayang-layang jadi rembang,

    yang manangis, tunjukan rona merah pipinya serupa kembang,
    juga tempat para pertapa menyepi menggapai pucuk-pucuk tembang ilalang
    ***
    kabut berarak menggugurkan riwayatnya menjelma rahasia yang hening ketika pandang gelap menguasai lengkung lembah. Baturaden melenggok
    ‘menyindir’
    lampulampu kota dibawahnya.
    omongkosong kotanya_
    yang melempar doa,
    yang sejak dulu selalu saja mengajari bersabar jika kelak ditikam lapar, kini anakanaknya_
    gamang memilih mesti menangis atau tertawa. sejak itu
    anankanaknya_
    menari dan menyanyikan gerimis senjakala.
    : siluetnya yang manis, tak pernah dilukis karena di kotanya berkeliaran
    wajahwajah yang tawar!
    padahal, sepotong hati bidadari berteriak karena suyinya,
    setiap hari puisi terlahir karena nestapa!

    angsa putih selalu saja membawa kidung “mawar” yang menceritakan kisah para serdadu yang selalu saja gusar,
    menyeret gerimis dan hujan menggoda di atas kota
    (tapi timbunan rindu yang terpendam dalam cinta abadi yang tiap gerimis dan hujan akan selalu mendendam!)
    begitu trotoarnya mengerjap, meliukmenggoda dan riuh kota disinggung dengan pantatnya. gerimis, senja merambat, mendungpun merebut, membebat kesunyian malam sang malaikat.

    Ajibarang-Solo, Nopember 2007

    Metamorfosis Rindu Roro Jonggrang

    Sosok Roro Jonggrang meluruh bertandang di kedua mataku, aku mengikutinya, lalu dia memandang ke pepohonan yang dahan-dahan telanjangnya menjulang ke angkasa. Kini dia datang lagi!

    Tiba-tiba aku merindu menyerupai rindu para perantau akan senyum ibu pada batu, namun ketika ingin aku tiupkan pada telinganya aku tak lagi memiliki suara, ketika ingin aku katakana pada matanya, ah! aku tak tahan akan sinarnya. Aku tak lagi memiliki cahaya.

    “Melalui kenangan kurajut sejarahmu, kisah ulat dan kepompong yang keluar dari celah jari-jari dan kilat kuku yang merambat dan membebat sela-sela rusuk dadaku, mencari sebuah taman yang pernah dipenuhi ribuan bunga peliharaanmu yang kemudian menjelma dalam kitab lengang para Biku”

    di simpang alaf ke-3 kupu-kupu-kuning-jingga meruap membakar seperti kuncup mawar yang tiba-tiba mekar! pecahlah hati, merobek daging membenggang tulang-tulang rusukku, meluncur mencari pengantin tersedih yang pernah ia sunting saat tujuh purnama itu, menyeruak ke satu titik langit

    titik langit yang dahulu kala selalu engkau pandang dari dalam kelam kelopak malam, menatap awan sambil menggigit bibir sendiri, mata bergenang linang lebih manja dari langit pada bulan-bulan hujan.

    tetapi tidak! kelak langit dan dirimu sendiri akan meninggalkan semua kesedihan yang engkau ciptakan.

    Roro,
    Dalam sebuah mimpi, aku saksikan sepasang kupu-kupu terbang beriringan, syahdan. Seekor kupu-kupu terbang menjauh kemudian hinggap diujung jari tanganku, menyematkan ciuman bunga sebelum mengepak sayap terbang di udara mencari pasangannya,

    Kupu-kupu itu bersenandung seolah tenggorokanya berdawai perak, melanglang mencari wangi tubuhmu dan meninggalkan sebuah kisah merdu padaku, kisah tentang sebuah negeri angin yang telah lama diceritakan alam pada malam,

    Dan, engkau menyangka kupu-kupu yang menghampiri hanyalah sebuah ilusi, namun pada saatnya engkau akan tahu, kelak kupu-kupu-kuning-jingga akan terbang dan hinggap ditiang layar perahu pipimu, setiap kali aku engkau kenang.

    Roro,
    Aku sudah terlalu rindu, aku ingin memeluk dan menciummu, karena semua sungguh sudah terlalu, sedingin batu. Aku selalu ingin di dekatmu, agar aku bisa merayumu setiap kamu marah atau sebal padaku,

    masih ingatkah surat itu? Katamu
    : riwayat yang gugur dari daun-daun dan senyum, serupa embun engkau menegurku sambil mengusap sungai yang mengaliri dadaku. Bisu aku dalam tangismu, ngilu luka waktu daun jatuhi rambutmu. Kitapun memanjakan waktu. Memahat dingin arca dalam gelap puriku, melumat lumutnya dalam rindu membatu.

    cerpen

    Anak Tikus di Kepala Kiai
    Oleh: Adib Belaria Abadi

    Sore yang cerah. Semburat jingga masih kelihatan di ufuk barat, langit merah jambu memantul ke sebuah latar putih keramik masjid. Bedug bundar kulit sapi sebentar lagi di pukuli. Kiai Imron masih dirumah. Menunggu bunyi bedug dan suara azan pertanda magrib.
    “Cepetan! ngapain lama-lama di kakus, hayo?” Dog! Dog! Dog! Pintu di gedor.
    “Sial! mataku kena sabun.”
    “Ha-ha, rasain!”
    Suasana pesantren As-Salafi mulai ramai. Beberapa santri sudah terlihat di masjid, lainnya masih ada yang antre di kamar mandi. Karena terlamabat sholat jamaah berarti siap menerima hukuman.
    Jarum jam masih menunjuk angka lima lebih limabelas, tatkala salah satu santri tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah gurunya, bahwa Kiai Lukman, pengasuh pesantren yang dulu sakitnya bertambah parah. Ba’da magrib Kiai Lukman mengharapkan kehadian Kiai Imron segera. Karena ada sesuatu hal yang ingin beliau sampaikan. Ujar santrinya.
    “Pak Kiai di mohon segera kesana.”
    Setelah mendengar kabar dari santrinya itu, Kiai Imron diam sejenak. Ditatapnya wajah istrinya. Istrinyapun tahu apa maksud pandangan mata suaminya itu, iapun menunduk. Santri itu agaknya merasa tidak enak dengan apa yang dia saksikan antara sang Kiai dan Istrinya. Setealah dirasa sudah semua pesan tersampaikan, ia buru-buru pamit pada Kiai Imron dan Istrinya.
    “Begitu saja pak Kiai, Assalamu’alaikum.”
    “Wa’alaikumsalam.”
    Setelah santri itu pergi, Kiai Imron kembali membuka buku bacaanya. “Bagaimana menurutmu Ning?” Panggilan akrab Kiai Imron pada istrinya yang cantik itu.
    “Rasa sakit hatiku padanya sangatlah dalam, aku bisa memaafkan orang lain di seluruh dunia, kecuali dia!” ucap Kiai Imron pada istrinya sambil membuka lembaran buku yang sejak tadi di bacanya.
    “Bagaimanapun Kiai Lukman adalah guru Abah kan? Ning rasa, Abah sepantasnya memberikan maaf serta mendoakannya.”
    “Aku pasti mendoakannya, tapi untuk memafkanya, itu hal lain Ning.”
    memberikan maaf memanglah suatu hal yang mudah, tapi bagi Kiai Imron, memaafkan Kiai Lukman adalah hal yang paling sulit dalam hidupnya. Kejadian yang sangat menyakitkan itu masih di ingatnya dan membekas jelas di hatinya sampai sekarang.
    “Dasar anak Tikus!”
    Kata-kata Kiai Lukman itu masih sangat mengiang di telinganya. Kata-kata yang di ucapkan pada seorang anak yatim yang sedang beranjak dewasa. Memanglah kejadian itu sudah puluhan tahun lalu. Disaat Kiai Imron baru saja mulai belajar mengaji di pesantren yang kini di asuhnya.
    Kiai Imron benar-benar masih mengingat kata-kata yang menyakitkan itu dengan jelas di kepalanya. Saat itu sedang ada pemugaran sumur di belakang masjid. Kiai imron yang saat itu kurang lebih masih berusia delapan tahun. Sewaktu masih anak-anak, mungkin ia dulu kelewat aktif. Ia begitu senang bermain bola, tapi siang itu, bola yang di tendangnya masuk ke sumur yang sedang di bersihkan, yang membuat Kiai Lukman marah besar ketika melihatnya.
    Dengan kemarahannya, Kiai Lukman tak lagi bisa sabar melihat ulah Imron kecil yang dianggapnya mengganggu pekerjaan tukang gali sumur. Tanpa pikir panjang diambilnya galah dan di sabetkannya di punggung Imron. Sambil berteriak memaki, “Dasar anak Tikus!” Kala itu, bukan hanya punggungnya yang terasa sakit, hatinya sangat perih ketika kata-kata itu keluar walaupun dari mulut guru ngajinya sendiri.
    Memanglah luka sabetan sudah lama sembuh, tapi luka hati sangatlah dalam. Kata-kata yang benar-benar meghujam ke hatinya seperti bilah bambu tajam tiba-tiba menyayat telinga si Imron yang baru ditinggal untuk selamanya oleh ayah terkasih. Dan sampai kini luka itu tak kunjung sembuh. Kata-kata itu begitu terasa pilu di ulu hatinya bila di ingat kembali.
    “Ayolah Abah, beliau sudah meminta maaf, maafkanlah?” bujuk istrinya.
    Kiai Imron kembali termenung, memikirkan antara rasa kasihan dan sakit hatinya yang sungguh sangat dalam. Sakit hati seorang anak yatim yang dihina! Bekasnya masih sangat jelas dan terang. Sangat susah untuk memberikan sesuatu yang memang tidaklah kita punya. Hampir seperti itu. Atau barang kali ini adalah cobaan yang memang harus dilalui sebagai ujian? Tapi sungguhlah berat ujian ini bagi Kiai Imron.
    Malam semakin larut. Para santri yang mengaji sudah mulai bubar. Keheningan mulai merayap di setiap sudut pesantren yang bersebelahan dengan rumah Kiai Imron itu, kemudian senyap. Keadaan itu benar-benar membuat hati Sang Kiai muda tak bisa memejamkan mata, seolah istrinyapun begitu, masih saja termenung di tempat yang sama. Kiai Imron terus saja membuka-buka halaman demi halaman buku yang di bacanya sambil memutar tasbihnya dengan mulut komat-kamit. Sang istri terus saja memandanginya sambil menggendong anak keduanya yang masih balita. Suasana sungguh sepi. Cuma kadang terdengar rengek sebentar karena sang anak yang di gendong ngelidur, kemudian sepi lagi.
    Tak lama kemudian terdengar lagi suara ketukan yang agaknya ragu, terdengar ucapan salam yang lembut dari luar.
    “Asslamu’alaikum…..”
    Hampir berbarengan suara suami istri pengasuh pesantren itu menjawab.
    ‘Wa’alaikumsalam…..”
    Tanpa di komando sang istri buru-buru menuju pintu untuk membukanya.
    “E.. kamu lagi to, silahkan duduk, ada apa?” si kecilpun terbangun.
    Dengan segera santri muda itu menyalami sambil mencium tangan Kiainya yang agaknya belum bergeser lama dari tempatnya duduk dan membaca tadi. Bu Nyai segera pergi ke kamar untuk meletakan anaknya karena anak yang sejak tadi di gendongnya sudah kelihatan pulas. Kemudian Bu Nyai keluar lagi dengan dua gelas teh manis yang di buatnya. Iapun berharap bisa segera meninggalkan mereka berdua untuk bercakap-cakap. Kelihatanya Bu Nyai tak ingin menggangu suaminya. Biarlah suaminya yang memutuskan, dia tidak selayaknya mengajari suaminya tentang hakikat dari sebuah kebaikan. Ia tak mau dibilang sembrono karena mengajari suami. Tapi agaknya pak Kiai Imron tahu apa yang di pikirkan oleh istrinya. Ia merasa istrinyalah yang pantas diajaknya berbagi. Mungkin di saat inilah seorang istri berperaan dalam keluarga. Pikir Kiai Imron.
    “Duduklah di sini Ning?” Bu Nyai memandang sejenak dan tak lama ia duduk di sebelah suaminya itu. Sambil tersenyum wibawa, Kiai Imron mempersilahkan bicara pada santrinya dan agaknya Kiai Imron sudah tahu apa yang ingin di sampaikan santrinya itu. Dengan basa-basi iapun memulai percakapan.
    “Ada apa mas?” begitulah pak Kiai Imron biasa memanggil santri-santrinya.
    “Maaf menggangu, begini pak Kiai, saya di suruh menyampaikan pesan supaya pak Kiai segera ke rumah Kiai Lukman, orang-orang desa sudah berkumpul, beliau sudah sakaratul maut.”
    “Begini saja, kumpulkan para santri, kemudian suruh mereka membacakan Yasin dan Tahlil, saya sedang ada perlu, nanti saya menyusul, tapi jangan menunggu saya, cepet di mulai saja, katakan pada Amir, biar dia saja yang memimpin Yasinan.”
    “Tapi?” Kata-kata santri itu terhenti melihat mata sang Kiai itu memandanginya, santripun menjadi rikuh.
    “Ayo di Unjuk mas?” Kata Bu Nyai menyejukan suasana.
    “Ngih Bu.”
    Sang santripun segera mengambil gelas yang sudah ada di meja dan segera meminumnya. Dia tidak melihat keanehan apapun dari gurunya tersebut. Karena siapapun memahami karekter Kiai yang karismatik ini. Yang membuat siapapun merasa minder dan itu pula yang membuatnya menjadi segan membantah. Keramahan, wibawa yang terpancar dari aura gurunya itu sungguh membuatnya kagum. Apalagi melihat keharmonisan suami istri yang ada di hadapanya kini. Sungguh suatu contoh yang pasti dia idam-idamkan di masa mendatang. Suatu bentuk keluarga bahagia. Dia sangat bersemangat. Seperti santri-santri yang lain, menginginkan berkah dari ilmu yang akan di dapat dari pesantren, dan dengan ilmu yang didapatkan di hatinya percaya pastilah cukup untuk bekal di masyarakat mendatang dan ahirat kelak.
    Setelah ngobrol sebentar tentang keadaan Kiai Lukman, si santripun segera berpamitan untuk mengabari teman-temannya agar segera berangkat ke rumah Kiai Lukman untuk Yasinan.
    Sementara itu di rumah Kiai Lukman sudah ramai oleh orang-orang dan santri yang akan membacakan Yasin dan Tahlil. Kiai Lukman sudah tergolek lemas di tepat tidur. Perjuangan, perjuangan terahir harus ia hadapi sendiri. Wajahnya kurus sekali. Kulitnya tertarik tegang disekitar tulang mata dan di sekitar mulutnya yang sedikit terbuka ada ekspresi aneh beku. Matanya yang kabur mencolok masuk, mengesankan derita yang dalam. Napasnya tak teratur. Matanya melotot. Semua pengertian kehilangan maknanya. Dia berada di lorong yang gelap. Sendiri! Apa yang terjadi di menit-menit ahir ketika orang sekarat?
    ***
    “Abah harus segera ke sana, jangan menambah bebannya di alam sana?”
    “Tapi Ning?”
    Sakit hati memanglah bukan sesuatu yang mudah sembuh seperti penyakit lainya. Obatnya tak lain dan tak bukan adalah ihlas. Suatu ajaran tertinggi dari agama. Ihlas memanglah bukan sesuatu yang sulit untuk dikatakan, tapi bagaimana jadinya hatilah yang menentukan seseorang ihlas atau tidak.
    Kiai Imron tahu, bisa saja ia berpura-pura memaafkan. Tapi ia tak mau membohongi hatinya. Hatinya yang sudah terlanjur sakit. Apalah daya, semua tak semudah yang dikatakan. Bu Nyai pun tak tahu apa lagi yang harus ia katakan pada sang suami. Agaknya sang suami yang lembut itu keras hatinya. Sekeras karang-karang yang ada di laut. Semakin deras ombak menerjangnya, semakin kuat ia menantang lautan. Seolah hatinya benar-benar telah membatu.
    Semua kembali hening. Kemudian Kiai Imron mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Kembali merenung, pikiranya melayang bersama asap yang mengepul ke angkasa. Bu Nyai diam lagi, tak tahu apa yang harus dilakukanya. Kemudian terdengar suara si kecil merengek memecah kebuntuan mereka berdua. Bu Nyaipun bergegas ke kamar untuk menenangkan si kecil. Kemudian Susana kembali hening.
    Kiai Imron masih tetap mematung tak bergeming dari tempatnya duduk. Ia terus berpikir apa yang harus di lakukanya, di satu sisi hatinya masih saja sakit ketika mengingat kata-kata yang sangat menyakitkan itu, di sisi lain ia tak mau mengecewakan istri dan para santri, dan bagaimana pula andaikan para santri mendengar kalau sang Kiai yang mereka kagumi tak bisa memberikan maaf? Apalagi ia adalah gurunya sendiri. Padahal, ia sendiri selalu mengajarkan bagaimana hakikat keihlasan pada santri-santrinya.
    “Ya Alloh apa yang harus aku lakukan?”
    Kiai Imron tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan perasaanya. Kemudian ia segera pergi sumur belakang untuk mengambil air wudu, inilah yang biasa ia lakukan ketika ia mengalami kebingungan. Bertanya pada yang kuasa.
    Setelah berwudu, kemudian ia bergegas menuju kamarnya untuk mengambil sajadah. Ketika membuka korden kamar, dilihatnya sang istri sedang berdoa, istrinya tak menyadari bahwa sang suami tercinta sedang melihatinya. Hati Kiai Imron tersentuh ketika mendengar lamat apa doa istrinya itu.
    Kemudian ia mengurungkan niatnya mengambil sajadah. Dia bergegas menuju masjid di samping rumahnya. Setelah selesai sholat ia berdoa, apa yang harus dia perbuat. Ia tak menemukan apa-apa. Kelihatanya tuhan tidak menjawab pertanyaannya. Tapi apa yang baru saja dilihatnya, membuat hatinya sungguh tersentuh. Air mata istri yang dicintainya mengalir mendoakan keihlasanya. Sungguhlah sangat menyentuh hati. Iapun kembali kerumah dengan kepala kosong.
    Tapi agaknya Kiai Imron tak peduli apa yang kini dirasakannya. Kemudian ia kembali duduk di tempatnya biasa membaca. Tak seberapa lama ia duduk, terdengar suara pintu diketuk.
    “Assalamu’alaikum.”
    “Wa’alaikumsalam.” jawab Kiai Imron sembari berjalan membuka pintu.
    “Maaf menggangu lagi, pak Kiai sudah di tunggu, pak Kiai Lukman menyebut-nyebut pak Kiai Imron, atas permintaan keluarga panjenengan di mohon untuk kesana.”
    “Ya, aku akan kesana sekarang.”
    Setelah berpamitan pada Bu Nyai, pak Kiai Imron segera mengikuti langkah santrinya itu. Sebelum meninggalkan rumah, dilihatnya senyum istrinya yang cantik itu merekah. Suatu kebahagiaanpun muncul di hati Kiai Muda itu.
    “Aku pergi dulu Ning, Assalamu’alaikum.”
    “Wa’alaikumsalam.”
    Kurang lebih sepuluh menit berjalan kaki, sampailah mereka di rumah Kiai Lukman yang telah ramai oleh orang-orang yang menunggunya. Kiai Imronpun disambut oleh segenap keluarga, anak, istri, Kiai Lukman yang langsung mengajaknya ke kamar di mana Kiai Lukman terbaring.
    “Ya Alloh, Subhanalloh?”
    Sepertinya Kiai Lukman kesulitan untuk siuman, lambat laun ia mulai mengenali Kiai Imron. Waktu tangan Kiai Imron diletakan dibahunya untuk menciumnya, Kiai Imron merasakan betapa kurusnya.
    “Aku langsung datang” Kiai Imron mecoba bicara dengan lirih.
    “Ya, Aku tahu, aku menunggumu.” Mulutnya mengganga.
    Sepertinya tak ada oksigen. Berat. Nafasnya putus-putus.
    “Aku sudah berada di depan lorong yang gelap dimana aku harus memasukinya sendirian. Aku begitu takut, ada apa diahirnya.”
    Dengan kekuatan tak disangka, direngkuhnya tangan Kiai Imron, dan sebentar di angkatnya ke kepalanya.
    “Ada apa disana?”
    Ulangnya. Di lepasnya lagi tangan Kiai Imron, kepalanya jatuh lagi kebantal. Lemah, hamir tak terdengar, tanyanya,
    ”maafkan saya.”
    Jantung Kiai Imron berdebar keras dan waktu dia membungkuk padanya, Kiai Imron berbisik,
    “Saya sudah memafkan anda, sampean akan di sambut dengan hangat di surga.” Kiai Lukman tidur diam, seolah terlihat kegembiraan dan ketenangan dari gurat keriputnya.
    “Kiai?” kata Kiyai Imron.
    Bagai seorang buta ia melihat Kiai Imron. Dia tak mengenalinya lagi. Gelisah tangannya bergerak, dari rambut ketenggorokan lalu ke jantung. Tanpa berhenti. Kiai Imron mengambil ditangannya, tangannya dingin bagai es. Napasnya tersengal-sengal. Semakin cepat tangannya bergerak. Matanya melotot, terbangun, lalu jatuh lagi. Apakah dia mau mengatakan sesuatu? Sekali lagi ia bernafas dalam dan pendek. Dia diam tak bergerak. Mukanya menjadi aneh dan kaku. Kiai Lukman sudah sampai di ahir.
    “Inalilahi wa inalilahi rojiun……”
    ***
    artikel

    Indonesia “Cinta(ku)” Bukanlah Babi!
    Oleh: Adib Belaria Abadi

    Jika sebagian pihak menyatakan bahwa cinta memang tak bisa di definisikan, memanglah tidak juga ada semacam teori yang menyatakan bahwa pernyataan itu salah. Tapi bukan berarti cinta sama sekali tidak bisa diraba walaupun keberadaanya samar dan bias. Mungkin dengan sedikit pengetahuan yang maha mungil saya akan mencoba mengungkap apa itu cinta, ini bukan teori dan bukan pula cara jitu memahami apa itu cinta. Tapi setidaknya saya mencoba membongkar kebuntuan yang selama ini terpatri dalam logika maupun (rasio) batin kita.

    Dengan memaparkan beberapa pengalaman saya terhadap bacaan-bacaan ataupun lingkungan saya sendiri, terlebih perjalanan cinta itu yang pernah saya alami juga. Mungkin. Tapi mungkin juga tidak. Toh siapa orangnya yang mau menyalahkan – kalau saya tidak pernah jatuh cinta? Sejauh pengetahuan saya: Karena cinta kita akan punya keberanian untuk melanggar etika atau tradisi yang selama ini di pegang teguh selama berabad-abad. Berhianat, merampas, menentang orang tua, bahkan membunuh antar saudara, bisa dikatakan sah saja kalau ‘cinta’ (tulus dan suci) memang yang menjadi sebabnya. Siapa yang akan menyalahkannya? Mungkin Sejarah! Karena sejarah kadang hanya milik sang pengasa.

    Kitapun tau etika yang selama ini kita sepakati walaupun tanpa kesepakatan tertulis, sebagai manusia kita akan merasa bahwa satu perbuatan itu baik atau buruk. Saya meyakini itu sebagai sebuah keyakinan universal yang kita sepakati tanpa kita pernah membuat persamaan persepsi ataupun tanpa kita pernah melakukan perjanjian tersebut diatas selembar kertas dengan materai yang kita tanda tangani bersama.

    Ketika saya melewati kehidupan sehari-hari dengan saudara, kawan dan alam raya ada beberapa pernyataan mereka kenapa mereka mencinta, tentu saja yang saya ingat tidak begitu banyak. Tapi saya akan mencoba semampu saya: ada yang cinta karena cantik atau tampan, ada yang cinta karena cocok alias nyambung ketika mengobrol, ada yang cinta karena terbiasa, dan malah yang agak tak etis (menurut saya) adalah ada yang cinta karena hartanya. Karena mereka menganggap hidup itu tidak hanya butuh sesuap cinta, hidup itu butuh makan juga atau bahkan lebih dari itu. Dan tanpa sadar itupun jadi satu yang kemudian kita sepakati bersama. Luar biasa memang cinta itu. Dan saya rasa semua itu adalah kejujuran yang pastilah jadi satu kebenaran bersama.

    Saya yakin kita sepakat bahwa mencuri, membunuh, menipu itu bukan seseuatu perbuatan yang baik. (saya tahu, anda semua lebih tahu). Kita juga sepakat bahwa semua agama manapun tak ada yang menyarankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang tanpa kita sadari sebenarnya kita sudah menyepakatinya. Begitu pula pada cinta. Tetapi kenapa hal-hal yang terjadi di dunia ini kadang membuat kesepakatan itu carut marut bubar entah kemana ketika rasa iri dan sakit hati membekap nalar dan hati kita. Ketika sakit hati, cemburu, keserakahan, menguasai setiap diri.

    Apa yang sebenarnya kita harapkan dari cinta ketika semua itu terjadi? Alangkah manisnya cinta di mana seorang kekasih berjumpa dengan pujaanya, serta mengatakan ia tak ingin jauh dari belahan jiwaanya dan alangkah pahitnya cinta jika arogansi telah menguasai diri setiap pecinta. Lihatlah bencana kelaparan di Etiopia, lihatlah akibat perang dan permusuhan di Irak dan yang lebih dekat pula, lihatlah yang terjadi di sekitar kita. Maksud saya perhatikan sejenak, karena saya yakin kita setiap hari melihatnya. Anak-anak jalanan yang lapar, entah itu alasan mereka, yang jelas mereka telah mengalami hilangnya cinta dari kerasnya kehidupan yang mereka lalui di jalanan. Saya yakin dan kita percaya mereka sungguh butuh cinta dan seabreg propertinya, tapi lihat juga mobil-mobil memawah yang tanpa henti-hentinya di produksi dan menyesakan jalan-jalan di ibu kota. Siapa yang peduli? Bukankah kita adalah para pecinta ciptaan tuhan itu?

    Apalagi cinta ketika diwarnai dengan perselingkuhan. Alangkah perih ketika sembilu menyayat kalbu. Waupun dalam agama yang saya anut, melakukan poligami adalah hal yang bisa dianggap halal, tapi sebuah perselingkuhan tetaplah satu hal yang sangat sulit untuk dimaafkan. Lalu cinta ada dimana ketika semua itu terjadi?

    Cinta Indonesia
    Dalam buku-buku sejarah maupun dalam kehidupan (pendidikan) yang kita jalani dari kecil sampai dewasa, mencintai negara adalah sebuah kewajiban yang paten. Penghianatan terhadap negara adalah layak untuk di bumi hanguskan! tapi apakah semua tidak layak untuk ditanyakan kembali pada diri kita masing-masing. Sebarapa cinta kita pada negeri ini sekarang? Ataukah mungkin sudah tidak ada? Bagaimana dengan para tentara bentukan Malasya yang dipekerjakan untuk menjaga perbatasan? Yang konon katanya adalah orang-orang negeri ini. Apakah mereka berhianat pada kita? Duh gusti pertanyaan apa pula ini?

    Dengan ini, kembali saya mau menanyakan atau mencoba mendefinisikan cinta menurut saya sendiri. Saya tau saya bukan siapa-siapa yang begitu berani menteorikan cinta pada setiap kita – mahluk tuhan yang bernama manusia di negeri ini. Bukankah cinta adalah sesuatu yang dialami oleh dua hal yang berbeda, antara mahluk dengan mahluk dan antara mahluk dengan tuhanya? Laki-laki dan perempuan, anak-anak kepada orang tua, saudara dengan saudara, sebuah bangsa dengan sejarahnya, manusia dengan manusia, umat manusia dengan alamnya dan sekali lagi antara manusia dengan tuhannya. Alangkah manis jika cinta itu berjalan dengan semestinya, apa adanya, tidak kurang apapun, ooh cinta.

    Ketika bicara cinta (sebagai mahluk) kita seharusnya tidak lupa bahwa yang mencintai dan yang kita cintai adalah mahluk-mahluk yang saling membutuhkan sesuatu hal dari pasangannya, karena cinta adalah menyatukan dua hal yang berbeda yang masing-masing mempunyai kekurangan dan dengan cinta itu kita saling melengkapinya. Bukankah demikian sederhananya cinta itu? Kenapa kita meski repot-repot selama berabad-abad tak mau mendefinisikanya? Karenanya pula yang saya tahu dari setiap ajaran tertinggi pada masing-masing agama di dunia adalah bagamana kamu mencintai tetanggamu. Maafkanlah jika saya memang salah dalam hal ini.

    Jikalau demikian adanya cinta. Kita benar-benar bisa melihat! Benar-benar cinta itu sudah hampir kehilangan makna dari penandaan awalnya. Yang saya tahu kini cinta hanya ladang mencari makan (eksisitensi) para penyairnya, cinta hanya dalih bagi sekelompok kecil manusia untuk mencari masa, cinta hanya nafsu kebinatangan yang terselubung dari birahi laknat penuh nafsu serakah para pemiliknya.

    Ketika kita tak mampu lagi menghargai cinta dari sesama, ketika kita membiarkan anak bangsa ini pergi jauh ke negeri orang hanya untuk mencari sesuap nasi. Dan kadang kala mereka pulang dengan hanya membawa nama. Karena jasad sudah terbungkus rapi dalam sebuah peti. Ketika para penguasa asik masyuk dalam perselingkuhan yang menyakitkan dengan para pengusaha, dan mereka tanpa malu melakukan ketelanjangan dan persenggamaan yang menjijikan di depan mata kita. Lalu dimanakah cinta? Mau diletakan dimana lagi cinta yang tinggal sesendok nasi? Mau di beli dimana jika cinta kini sudah semahal nyawa?

    Kalaupun saya berandai-andai di satu malam yang hening dan syahdu, ketika saya merasa bahwa negeri ini adalah kekasih saya yang jelita (tentu saja saya mencintainya dengan sepenuh hati). Dan pada saat saya mengenang kembali lagu faforit kami berdua (Indonesia Raya) dan tiba-tiba saya melihat-Nya berselingkuh di kegelapan malam, tentu siapapun dari anda akan sepakat dan tidak akan menyalahkan jika saya memaki belahan jiwa saya: “Penghianat! Babi! Djancuuukkk!!!”
    Persoalanya: Apakah Indonesia masih mencintai ‘kita’ masyarakatnya?
    Apakah kita berdua masih saling cinta?
    Duh gusti Alloh, kenapa?….***

    artikel

    Kenapa Harus Anarkis?
    Oleh: Adib Belaria Abadi

    Fenomena gonjang-ganjing di dalam umat Islam yang kian menjadi-jadi baik itu masalah eksternal maupun internal Islam sendiri telah memacu para tokoh ataupun cendikiawan muslim untuk memahami fenomena ini. Dari masalah-masalah baru yang muncul akibat penegakan udang-undang syariah, perang Islam dan Kristen di Poso, sampai masalah bermunculanya aliran-aliran baru yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Pemahaman yang lahir memang bercorak ragam, ada yang subyektif-konfrontatif, tetapi ada juga yang dialogis-intersubyektif.

    Indonesia sekali lagi bagai meranggut prahara, pertikaian yang bersumber dari agama selalu saja memcacah-cacah jiwa kaum muslim dan nurani bangsa kita. Dari perusakan tempat ibadah yang berujung kerugian materi yang tidak sedikit dari negara yang melarat ini sampai darah yang berceceran dan mayat-mayat bergelimpangan akibat agama yang selalu saja di jadikan sebagai “bendera absolut” untuk membidik, menyerang dan membunuh mereka yang dianggap kafir. Dengan menggunakan jargon agama orang merasa suci. Berjarak radikal dengan mereka yang berbeda akidah. Tak pelak, kesakralan agama menciut, seolah untuk meraih tegaknya agama tak lain dan tak bukan hanya dapat diraih, dan adanya hanya di ujung pedang.

    Manusia Sebagai Khalifah
    Rangkaian reaksi keras sebagian golongan Islam digunakan untuk memperkuat pendapat umum betapa susahnya membawa umat Islam dalam pembangunan nasional. Sebaliknya, umat Islam sendiri sering merasa disingkirkan dari arus pokok pembangunan itu. Banyak pemimpin Islam yang menyadari keadaan itu berbahaya bagi umat Islam sendiri dan seluruh bangsa, tapi sampai saat ini sepertinya mereka kesulitan untuk menemukan jalan keluar.

    Namun tidak demikian bagi Nurcholish Majid (alm.). Dia menegaskan, Al Quran tidak mewajibkan kaum muslim membentuk negara Islam. Kehidupan bernegara memang harus di atur oleh agama, tetapi kehidupan dunia mestinya diatur dengan logika dunia, untuk itulah manusia diciptakan sebagai kholifah Alloh di dunia. Mugkin inilah untuk pertama kali seorang pemimpin Islam menolak pola “agama dalam negara”, bukan sekedar karena alasan kesatuan dan persatuan nasional, tetapi karena “keyakinan yang lebih mendasar”. Warga negara yang beragama Islam mesti bebas berkarya dalam kegiatan negara. Untuk merealisir gagasannya itu, pada tahun 1986 Nurcholish Majid (alm.) mendirikan yayasan Paramadina. Yayasan ini menyebarkan Islam di kalangan pejabat dan intelektual, dan kemudian disambung dan diperluas oleh K.H Abdurrahman Wahid dan mendapat sambutan beragam dari masyarakat. Tentunya gagasan perjuangan almarhum masih harus terus di perjuangkan dalam dataran praksis. Terus dan terus, demi persatuan dan kesatuan serta kejayaan bangsa ini dimasa mendatang.

    Soal Keserakahan Sampai Kemiskinan
    Kemiskinan merupakan gejala sosial yang sangat potensial bagi kuman-kuman untuk menyebarkan wabah penyakit yang menyerang mental sekaligus sanubari umat manusia yang melahirkan berbagai bentuk kebringasan sosial dan prilaku saling mencurigai, dan lebih lagi saling membunuh. Gejala penyakit sosial ini tidak saja dirasa ketika kemiskinan merambat dan membebat akan tetapi ketika masalah ini berpapasan dengan perbedaan akan kepentingan dan ini juga terjadi dalam tubuh Islam sendiri. Dan di negeri ini, Islamlah yang paling merasakan dampak dari fenomena penyakit sosial semacam itu. Terlebih lagi jika fenomena itu dimatangkan oleh padatnya penduduk, kurang tersedianya lapangan pekerjaan bagi sebagian besar mesyarakat untuk sekedar mencari rupiah dan sesuap nasi.

    Di lain pihak, keadaan seperti ini mendorong sebagian manusianya untuk menjadikan agama sebagai pelarian sampai-sampai pada tahap kecanduan atau fanatik buta. yang ahirnya memberikan kesempatan pada orang-orang tak tahu diri yang pandai memanfaatkan kelemahan masa ini untuk kepentingan pribadinya.

    Dari fenomena sosial yang demikian, sudahlah menjadi cermin yang amat jelas. Memantulkan wajah-wajah manusia yang dilanda penderitaan dan kesengsaraan di satu sisi, dan di sisi lain negeri ini di penuhi oleh mereka yang berlomba-lomba ingin menduduki kekuasaan, tapi tanpa mempertimbangkan empati dan sebuah cita-cita luhur seorang pengemban amanat rakyat. Masya Allah!!

    Bukankah sesungguhnya Islam menekankan pada sikap moral seperti persamaan, persaudaraan dan tolong-menolong sebagai modalitas pokok di dalam merajut satu penyatuan umat? Pengukuhan betapa pentingnya persahabatan antarumat manusia dalam Islam inilah yang sesungguhnya akan menyelamatkan kita dari krisis multidimensi. Sesungguhnya manusia itu tercipta dalam dua bentuk yang berbeda dan saling berlawanan yaitu tubuh yang kasar dan ruh yang lembut. Keduanya tidak akan saling bertemu dan bersatu kecuali dengan sikap tolong-menolong dan persaudaraan. Sebab, dengan tolong-menolong dan persaudaraan akan terbangun kekuatan yang menyatu yang tak akan pernah dirobohkan oleh siapapun.

    Apa artinya perbedaan dibandingkan dengan banyaknya persamaan diantar kita. Bukankah kita sama-sama membutuhkan sesuap nasi tanak dan seteguk air segar demi memenuhi lapar dan dahaga? Kita juga sama-sama menangis dikala sedih dan tertawa dikala gembira? Kita sama-sama gemetar dikala ketakutan melanda serta tergelak ketika kegembiraan menerpa. Kita sama-sama berkeringat dibawah terik matahari dan menggigil ditelan dinginnya malam. Tidakkah kita melihat begitu banyak persamaan diantara kita sampai-sampai kita muskil menghitungnya?

    Lalu mengapa secuil perbedaan yang dipicu keinginan, hasrat dan napsu menyangsikan semua persamaan kita? Mengapa kita seolah memiliki banyak waktu untuk mengais-ngais perbedaan, menggoreskan garis pemisah, memancang bendera antara aku dan kau ataupun kami dan mereka? Tidak cukupkah satu persamaan diantara kita berikut ini memupuskan kegigihan untuk mempertahankan warna-warna itu. Bukankah kita sama-sama membutuhkan dan merindukan kasih sayang?
    ***

    cerpen

    Ajibarang, Nopember 2008
    Senyum Lintang Saat Menari
    Oleh: Adib Belaria Abadi

    Saudara tahu apa yang dicitaka-citakan oleh setiap perantau? Pulang-berkumpul dengan sanak-saudara ataupun sahabat. Untuk “perantau”, kata itu alangkah merdu menggairahkan. Itupula yang sedang di pikirkan Lintang. Tapi ia takut akan sebuah lorong yang harus di laluinya, sebuah lorong hitam dalam otaknya yang tampak semakin mengerikan kian hari. Yang ahir-ahir ini selalu di lalui didalam mimpi-mimpi gulitanya.
    Satu saat ia ingin pulang.
    Menari lagi bersama ibu, tak ketinggalan sebauh musik alam dan puisi.
    ***
    “Rus, lihatlah mbakyumu itu, alangkah cantiknya?” kata ibu tanpa menatap. Melongo. Lintang dengan sampurnya yang terjulai-julai kepanjangan. Menjilat-jilat tanah, sampur itu seolah tak mau lepas melilit pinggangnya, begitu tebal dan melilit, dari jariknya yang membuat jalannya jingkat-jingkat.
    “Wah-wah, Lintang anakku, kau sungguh pandai menari?”
    Lihatlah anak itu menari, yang lebih mirip tarian bidadari yang di persemahkan pada ratu kahyangan, lagakanya, menyerupai dewi, di sebuah batu besar diatas bukitnya yang menjulang ia meliuk “lihatlah! hai, gayanya”. Tanah merahnya menyala-nyala. Anginya menampar-nampar pipi rambut jagung anak-anak dan ilalang bergoyang berisik bergesek di tiup sepoi. Makin membuat tarianya alami.
    “Kau pantesnya?”
    “Apa?”
    “Luar biasa, kau cantik sekali?!”
    ***
    Siapa sangka, ibu, seorang perempuan yang selalu gandrung pada tarian moyangnya itu sudah memasuki senja usia. Dulu, ada seseorang yang diajarinya menikmati buaian irama gending pusaka. Yang selalu dilihatnya adalah senyum manja, dara jelitanya yang baginya senyum itu macam rayuan para dewi yang menyejukan hati. Dia adalah Lintang anaknya. Lintang yang selalu setia menemaninya memenuhi dahaga akan gemerlap dan gelapnya dunia: menari.
    Ia tertatih. Pincang. Sore itu, dimatanya tumbuh gelombang. Tapi ia selalu punya harapan akan sesuatu. Akan pesona, sebuah harapan besar yang lahir bersama Lintang yang selalu membuatnya bergairah disaat dirinya menghadapi gelisah. Tapi entah dimana kini Lintang berada. Di panggung itu ia biasa melihatnya menari seelok pelangi. Yang selalu memperlihatkan semangatnya, yang menderu, serupa angin dan buih ombak di pelukan samudra biru.
    Lintang yang selalu setia menari, wajahnya yang memancarkan keayuan, ditambah rambutnya yang legam panjang, membuat seluruh penampilanya sebagai sosok yang tak tergoyahkan. Kehalusanya justru memperkokoh ketegaranya yang tanpa pernah berucap tapi sudah berarti baginya akan ada yang setia dan meneruskan citanya kelak. Pada suatu saat dimana ia tak mampu lagi mengemban amanat tradisi yang terkikis arus waktu.
    Zaman boleh saja berubah, tapi baginya, Lintang tetaplah seorang penari yang tak kan berhenti menari hingga senja tiba. Karena dia memiliki dua bola mata yang indah, dan tak akan begitu saja untuk dimainkan maupun dipermainkan. Justru sebaliknya, kini semua manusia melihatnya telah membuktikan diri, bola matanya telah mampu memainkan sealigus mempermainkan imaji siapapun, ketika lentik jemari dan lincah kaki-kakinya berkelit-kelit di bawah sinar lampu kala dia menari di tengah panggung.
    Tidak hanya itu! Saat di titik itu, ia sanggup mencemooh secara sembada terhadap mereka yang hanya bisa meratapi atau hanya sekedar menjadikan tradisi sekedar sebagai proyek eksotisme yang cuma diziarahi lewat penelitian atau upaya nguri-nguri sebatas kulit ari!
    Lintang memang mencintai hidup ini, dengan segala pengalamanya. Dia selalu merindukan kampungnya, gunung dan semua lembahnya, merindukan gending alamnya yang menyibakan sebuah pesona nurani yang terpercik pada julai jarik, pacak gulu dan suara rampak gong dan gendang yang menyatu indah rapi. Semua itu seolah mempertegas bahwa Lintang memanglah menyukai kerja keras dan irama hidup yang dinamis, seorang anak yang dulu ada di rahimnya sendiri yang akan meramu harapan masa depanya. Dia yang sangat menikmati rintik hujan dan selalu berhasrat untuk merengkuh sesuatu. Yang selalu membuatnya berharap bisa hidup seribu tahun lagi untuk menyaksikan bagaimana keajaiban kehidupan berjalan bersama Lintang.
    Namun di sisi lain Lintang, dunia indah yang di dambakan mustahil terwujud tanpa keikutsertaanya dalam perjuangan dan pengorbanan. Begitulah Lintang menyimpulkan perenunganya di sebuah lorong hatinya dulu, Lintang menyadari bahwa sesuatu itu sedang berubah dari keadaan normalnya, ia sadar bahwa dunianya mulai mengambil bentuk baru yang aneh, dan yang dekat dengan realitas adalah keinginannya mengamati keadaan mentalnya sendiri serta merekam penjelasan perubahan hari demi hari dalam persepsi dan pemikirannya sendiri, dan kini lorong itu pula yang menghalanginya pulang meninggalkan keramaian kota barunya, yang dulu pernah membuatnya meninggalkan semua yang dicintainya. Ia memilih untuk menentang badai, menerjang hujan dan jika perlu ia akan mengarungi lautan. Dan bertekad untuk menghiasi kehidupannya dengan seribu warna, dengan garis-garis tegas yang dibuatnya sendiri.
    Ibu terhenyak ketika satu waktu yang lalu Lintang berpamitan untuk bertolak ke negeri yang keelokanya di catat para pengembara bergaung luas ke seberang samudera. Sebuah kota yang mashur karena selalu melahirkan sesuatu yang baru, belum jelas seperti apa kota itu, dan mungkin tak akan pernah terlalu jelas, karena akan selalu berubah, dengan kecepatan yang belum pernah ada dalam sejarah negeri ini.
    ***
    Siang itu, Lintang berusaha menahan tangisnya. Sampai saat terahir dalam lorong hatinya itu ia menemukan sesuatu yang memaksanya untuk bebas.
    “Aku akan cepat pulang bu, di kota itu aku akan jadi penari yang tak kan tertandingi?”
    “Tentu saja!”, jawab Rusdi, melihat ibu yang tak lagi bisa berkata-kata.
    “Mbak Lintang akan baik-baik saja?”.
    “Tidak usah terlalu risau”
    Lintang sepontan meneruskan jawaban adiknya yang lebih pandai menyimpan sedihnya perpisahan. Pada saat yang sama ibu menggenggam tangannya erat sekali, seakan-akan dia ingin selalu menggenggamnya. Ketika Lintang berdiri, dirangkulnya anak perempuannya itu, dan terisak.
    “Kuharap ibu mengerti.”
    Rusdipun terdiam. Beku. Dia tahu, siapapun tak bisa merubah pendirian kakaknya. Dua orang pengantar itu berpikir, Kenapa harus pergi? Ah, tapi apa mau dikata. Sebuah keinginan dan harapan tampaknya kini sudah membulat. Tentu saja kali ini mereka tak mau menambah sedihnya sendiri dan memberi beban baru bagi yang akan meninggalkanya.
    Sekitar dua menit lagi kereta akan segera berangkat.
    Lintang si perempuan dusun yang suka menari sudah memasuki kereta tujuan kota.
    “Lintang anakku, jangan pergi, jangan pergi!”
    Sambil menahan genangan air yang akan mendobrak batas bulu mata yang sejak tadi menahannya. Airmatanya mengalir lewat hidung. Suasana hati setiap orang yang akan ditinggalkan sungguh tak karuan,
    “Ibu tidak boleh berkata begitu, salah-salah nanti malah terjadi apa-apa pada mbak Lintang, dia akan kembali”.
    Ibu memeluk Rusdi. Menetap kereta yang lamat meraung. Merayap.
    Aku harus mengalihkan pikiran ibu. Tapi apa? Perasaan kosong ini, perasaan ditinggalkan tidak bisa kutahan. Apa yang bisa kulakukan? Apakah kami bisa melihatnya lagi? Tentu saja! Pikiran-pikiran aneh apa itu? Mbak Lintang sendiri yang bilang bahwa secepatnya dia akan pulang. Tapi apakah akan secepat itu?
    Tidak! Masih akan berselang lama sebelum ia melakukan perjalanan lagi. Seandainya saja aku bisa pergi dengannya, aku pasti akan menjaganya, tapi aku tidak mau menambah kesedihan ibu dengan kepergianku. Aku ingin sesuatu terjadi, seseuatu yang fatal sehingga aku tak perlu lagi berfikir. Tetapi tak pernah terjadi sesuatu jika kau begitu menginginkanya. Sekarang sudah sampai mana dia?
    Kereta berjalan terus.
    Sekarang tinggal Rusdi dan ibunya diam merenungi kepergian Lintang. Kesayangan ibu dan kakak yang tak pernah menignggalkannya kini pergi jauh menitipkan sakit dan perih hati pada mereka. Angin bertiup semilir di setasiun. Orang-orang berjalan lalu lalang. Ramai. Tapi tatap tak bisa menjadikan mereka bisa merasakan keramaian, hening. Sepi. Matahari sudah di tengah-tengah atap setasiun. Panas. Ibu dan Rusdi pulang tanpa Lintang, kenapa harus dengan Lintang? Bukankah dia melintas luas samudera. Sebuah kota yang konon tak pernah sepi itu kini tujuanya. Atau barang kali dia sudah sampai disana.
    Matahari tergantung tinggi di langit. Menggeleparkan udara nan terik. Burung-burung yang berkelompok dari arah kaki gunung terbang bergegas menuju ke selatan. Hamparan sawah nampak lengang. Dari arah yang tinggi Ibu menatap padi yang mulai menguning. Dan irama degup jantungnya tak beraturan, dengan degup yang kadang melemah, terkadang keras.
    Dia tak mengerti, berapa lamakah Lintang di kota, akankah dia kembali?
    ***
    Aneh.
    Tak ada kabar berita, atau sekedar sepucuk surat untuk dibaca, harap mengeras akan menanti. Begitulah hari merambat, membebat kerinduan yang mendalam akan seorang anak perempuan bagi seorang ibu dan ayah, seorang anak negeri kini belum juga kembali. Hari berganti, tak ada ditemui oleh keluarga itu sematan kabar dari kilat ataupun burung-burung camar yang terbang pagi dan bertandang melewati awan setiap sore menjelang malam, cakrawala yang dulu menyampaikan pesan alam agar Lintang si gadis lincah segera pulang, kini tak sepatah memerah.
    Kini burung-burungpun tak tahu kemana Lintang, kenapa ia belum pulang juga?
    Rusdi akan menelpon, tapi siapa?
    “Disini tidak ada yang namanya Lintang!” ia tak ada.
    Berulang kali salah sambung. Yang benar saja! Padahal aku juga akan memberinya kabar; Ayah Alhamdulilah berangsur sembuh, hasil panen lumayan. Bisa buat bayar dokter. Tapi ibu bertingkah semakin aneh.
    Ibu selalu saja berbinar ketika mendengar suara motor atau trek yang melintas di depan rumah. Dan selalu berteriak; anakku, Lintang pulang! – dengan mata nyalang dia melongok, lari dan menghampiri siapapun yang melintas, tidak hanya itu, semakin lama ibu semakin mengada-ada, kini tidak hanya kala ada trek atu motor saja ibu kegirangan, tapi hampir setiap anak gadis yang lewat melintasi depan rumah di panggilinya; Lintang! sambil menari. Rusdi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Hanya rasa cemas yang tak tahu apa obatnya. Hanya senyum Lintang kakaknya. Tapi dimana
    ***
    Tujuh bulan berlalu.
    “Mas siapa?”
    Tanya seorang berbaju putih, yang kelihatanya seorang suster. Ahir-ahir ini Rusdi tak lagi jelas melihat seseorang, apalagi harus melihat saudara perempuannya yang sekarang terbaring disalah satu kamar rumah sakit, dia yang dulu selalu bernyanyi untuknya. Sebentar kemudian Rusdi menjawab.
    “Saya adiknya?”
    “O-o”..
    “kami menempatkan penyekat diruang tidurnya”.
    Rusdi tak bisa menjawab. Dia berjalan mengiringi suster itu. Di sini, katanya. Sebentar ditekanya tangan Rusdi, lalu pergi. Rusdi melihat kakanya tidur dengan tenang. Wajahnya kurus sekali.
    Kulitnya tertarik tegang disekitar tulang mata dan di sekitar mulutnya yang sedikit terbuka ada ekspresi aneh beku. Matanya yang kabur mencolok masuk, mengesankan derita yang dalam. Sekelebat Rusdi melihat sekilas pemandangan lalu, dimana dulu di sebuah batu besar diatas bukitnya yang menjulang ia melihat Lintang meliuk “hai, gayanya”, Tanpa sadar Rusdi berseru
    “Ya Alloh, Subhanalloh? Mbak!”
    Sepertinya dia kesulitan untuk siuman, lambat laun ia mulai mengenali Rusdi. Waktu tangan Rusdi diletakan dibahunya untuk menciumnya, Rusdi merasakan betapa kurusnya.
    “Aku langsung datang” Rusdi mecoba bicara dengan lirih.
    “Ya? Aku tahu, aku menunggumu, mana ibu, apa dia baik-bak saja? Lalu ayah bagaimana? Maafkan Mbakmu ya gus”. Mulut mengganga.
    “Mereka baik-baik saja Mbak?”
    Rusdi tak siap menerangkan, tapi kapan lagi? Ahh…percuma! gumamnya. Sepertinya tak ada oksigen. Berat. Nafasnya putus-putus.
    “Aku sudah berada di depan lorong yang gelap dimana aku harus memasukinya sendirian. Aku begitu takut, ada apa diahirnya”.
    Dengan kekuatan tak disangka, direngkuhnya tangan Rusdi, dan sebentar di angkatnya ke kepalanya.
    “Ada apa disana?”
    Ulangnya. Di lepasnya lagi tangan Rusdi, kepalanya jatuh lagi kebantal. Lemah, hamir tak terdengar, tanyanya,
    ”adakah surga?”
    Aku pusing, jantung Rusdi berdebar keras dan waktu Rusdi membungkuk padanya, Rusdi berbisik, kalau surga ada,
    “mbak Lintang, mbak akan disambut dengan hangat”. Lintang tidur diam.
    “Mbak?” kata Rusdi.
    Bagai seorang buta ia melihat Rusdi. Dia tak mengenalinya lagi. Gelisah tangannya bergerak, dari rambut ketenggorokan lalu ke jantung. Tanpa berhenti. Rusdi mengambil ditangannya, tangannya dingin bagai es. Tapi Rusdi sadar ia tak boleh memegangnya.
    Perjuangan, perjuangan terahir harus ia hadapi sendiri. Napasnya jadi tak teratur. Matanya melotot. Semua pengertian mereka kehilangan maknanya. Dia berada di lorong yang gelap. Sendiri! Apa yang terjadi di menit-menit ahir ketika orang sekarat? Napasnya tersengal-sengal. Semakin cepat tangannya bergerak. Dengan kejutan ia terbangun, lalu jatuh lagi. Apakah dia mau melarikan diri? Sekali lagi ia bernafas dalam dan pendek. Dia diam tak bergerak. Mukanya menjadi aneh dan kaku. Dia sudah sampai di ahir.
    Lintang pulang.
    Lintang pergi.
    Lagi.
    Lintang benar-benar telah pergi. Raganya moksa, hanya rohnya yang menghadirkan senyum di keperihan hati ibu dan harapanya. Tak ada lagi yang ditakutinya, semua ketakutanya yang berawal dari sebuah lorong yang harus di laluinya, sebuah lorong hitam dalam otaknya yang tampak semakin mengerikan kian hari. Yang selalu di lalui didalam mimpi-mimpi gulitanya. Dan matahari tak lagi tertawa ketika terbit semakin tinggi dan tinggi ke atas sebuah desa di kaki gunung kami yang biru…….
    ***

  2. Adib Belaria Abadi says:

    matur nuwun, teman, sahabat, kawan…..
    aku sendiri semakin gagap menggunakan bahasa. yang semakin tak pandai aku memaknainya?
    seperti halnya aku tak mampu lagi melihat hal2 buruk yang tampak baik tapi nuraniku nuranimu menolak!

    seperti halnya mereka yang tidur nyenyak diistana yang merasa berat, krisis dan perlu dikasihani, padahal kita semua tau, merekapun tau!!! rakyatlah yang harus dikasihani….
    duh gusti Allah, kuatkanlah hambamu……..

  3. Adib Belaria Abadi says:

    saudara-saudara……..

  4. Adib Belaria Aabadi dos Santos Aveiro says:

    Sastra; Kritik dan Apresiasi
    Oleh: Adib Belaria Abadi

    Euforia “kebebasan” yang disumbangkan era reformasi seringkali menuai kritik hampir pada semua diskusi sastra salama ini, banyak kritikus menyatakan bahwa kebebasan bersastra sekarang malahan lebih kelihatan tabu serta membelenggu penuh norma, dan di sisi lain kebebasan bersastra dianggap memberangus ‘kualitas’ karya karena menempatkan kualitas literer sastra dalam posisi seolah tidak penting. Kondisi semacam ini tentu saja tidak terlepas dari gejala sosial-politik dalam arti melihat karya sastra sebagai representasi sosial.

    Sebenarnya pembahasan semacam ini pernah di wacanakan oleh Ahmad Sahal dalam (Culture Studies dan Tersingkirnya Estetika, Bentara, Kompas, 2/6/2000). Walaupun pada awalnya hanya dipusatkan pada masalah sastra, tetapi meluas juga sampai ke masalah seni rupa (Jim Supangkat, Bingkai Seni Kontekstual, Bentara, Kompas, 7/7/2000). Dan Enin Supriyanto pun ikut meramaikannya dengan (Culture Studies, Kritik Seni dan Apresiasi, Bentara, Kompas, 4/8/2000).

    Ingin meramaikan perbincangan di seputar masalah sastra inilah beberapa catatan yang ingin saya ajukan setelah membaca kritik Wan Anwar (Horison, Oktober 2007). Wan Anwar secara komprehensif mengamati dan mengistilahkan “fenomena dua kubu”, antara ‘sastra seks’, sebagai efek kebebasan yang kelewat fulgar dan ‘sastra Islami’, yang di lihat hanya sebagai jalan dakwah dan ibadah semata, yang masing-masing sedang gandrung menggali muatan sastra era reformasi.

    Dalam analisisnya, Wan Anwar menghubungkan kecenderungan itu dengan esensi ‘kebebasan’ yang terbawa badai reformasi yang berkembang di negeri ini pada 10 tahun terahir. Dengan cermat Wan Anwar membaca dasar-dasar wacana kesusastraan yang mengonstruksi wacana kebebasan era reformasi dan yang sedang merayakan pluralitas budaya sastra ahir-ahir ini.

    Kajian semacam ini menurut Jim Supangkat terlalu mengutamakan pembacaan “konteks daripada teks”, lebih tertarik pada latar belakang karya sastra yang berada di luar sastra ketimbang karya sastranya, inilah yang di kritik oleh Wan Anwar: karya sastra dianggap hanya sebagai teks budaya atau dokomen sosial. Kritiknya, pendekatan ini mengabaikan dimensi estetik atau tidak memperdulikan pengalaman estetis yang menurut Wan Anwar “kualitas” menyertai pengamatan sastra.

    Dengan menguraikan “fenomena dua kubu” sastra era reformasi, Wan Anwar mengkritik pula alam pikiran ini yang dilihatnya melatari euforia kebebasan bersastra dalam kesusastraan Indonesia sekarang. Tapi Wan Anwar tidak melindungi kritiknya dari paradoks pandangan kesusatraan era reformasi yang punya potensi membingungkan. Paradoks ini tercermin pada tidak adanya batas-batas yang jelas, kapan pandangan-pandangan itu memasuki persoalan kebebasan dalam bersastra (melihat sastra sebagai gejala sosial-politik) dan kapan berada pada persoalan literer (makna dan kualitas).

    Seperti di ulas oleh Wan Anwar, era reformasi yang membongkar batas-batas hegemoni ternyata menisbikan kepercayaan umum bahwa sebuah nilai kebebasan menghadirkan nilai-nilai tinggi, sementara imbas kebebasan selama ini memperlihatkan selera kepenulisan yang rendah (tema-tema kebebasan yang dianggap memberangus kualitas literer sebuah karya sastra). Namun, pada kenyataannya kebebasan bersastra tidak bisa menghindari infrastruktur literer yang di tentangnya (tradisi pemikiran dan tradisi estetisnya).

    Seperti sudah sering di bahas, ranah kebebasan sastra ternyata tidak bisa di lepaskan dari sisi estetis sebagai kualitas (literer) sebagai tradisi bersastra yang tidak bisa di tolak, karena prakteknya memang tidak mungkin dihilangkan. Sikap ambigu inilah yang membuat pandangan tentang kebebasan dalam sastra menjadi sulit di identifikasi dan menyesatkan sewaktu dibahas.

    Dalam mengritik euforia kebebasan yang di pengaruhi wacana reformasi, Wan Anwar menempatkan konteks dan teks pada posisi yang berlawanan. “Pendekatan konteks” yang dikritik diasumsikan menekankan dimensi kemasyarakatan (sosial-politik), sementara “pendekatan teks” yang di unggulkan di anggap menekankan dimensi kualitas estetik dalam karya sastra sekarang ini.

    Dalam permasalahan sastra kotekstual pemisahan isi dan bentuk bisa dilihat sebagai terperangkap pada pemahaman ini: suatu karya sastra di sebut kontekstual karena latar belakang sosial-budayanya, dimensi estetiknya, sementara itu, adalah masalah universal. Mengutip Jim Supangkat, Pemahaman ini “tidak bunyi”. Dikaitkan atau tidak di kaitkan dengan persoalan sastra, masalah sosial-budaya memang kontekstual. Karena itu permasalahan sastra kontekstual baru akan “bunyi”, apabila masalah sastranya (dimensi estetikanya) yang diyakini kontekstual, selama ini di yakni universal. Istilah sastra kontekstual adalah yang sementara pada proses menemukan perbedaan-perbedaan pernyataan plural.

    Sesungguhnya mudah diajukan sejumlah argumen untuk menolak sikap ini. Di satu sisi bisa dinyatakan bahwa tidak ada hukum atau formulasi yang menjamin suatu karya sastra bisa berhasil atau tidak berhasil secara estetik, hanya karena isinya punya konteks sosial-politik. Sebaliknya tidak ada juga hukum yang menyatakan bahwa intensi fenomena dua kubu ini akan berahir pada kegagalan secara estetik. Bahwa isi “sastra seks dan sastra Isami” tak bisa di ramu menjadi ungkapan puitik.

    ***

    Penentangan hierarki sastra dengan menyangkal tradisi liteter dan kebebasan tidak bisa di sangkal adalah bagian dari tradisi estetika memperdebatkan premis-premis Plato tentang keindahan metafisis dan keindahan sensual. Melihatnya sebagai potongan perkembangan linier dalam ilmu keindahan, penentang hierarkhi kesenian ini merupakan penentangan teori-teori estetika abad ke-19 lalu.

    Pernyataan pluralitas budaya sastra, dilihat sebagai penentangan estetika yang mengutamakan sejarah sastra. Pendekatan sejarah ini mengkaji keindahan melalui pembacaan teks karya sastra dengan tujuan meninggalkan pendekatan filosofis yang dianggap sepekulatif dalam mengkaji keindahan. Pada perkembangan abad ke-20 pembacaan teks ini melahirkan modernist criticism yang mengabsolutkan “bentuk” dalam dikotomi “isi” seperti di ulas Wan Anwar. Bertumpu pada universalisme sebagai premis fundamental. Inilah hegemoni universalisme absolute yang di tentang dengan merayakan pluralitas bersastra.

    Bila Wan Anwar memang mengritik dimensi estetika sastra ahir-ahir ini, ia sedang kembali ke perdebatan sangat tua tentang “seni untuk seni” dan “seni untuk masyarakat”. Fenomena literer yang di sebut Wan Anwar sebagai “medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri” sudah di konstruksikan oleh pelukis Henri de Saint-Simon bersama industrialis Prancis pada tahun 1825 melalui Manifesto Gerakan Avan Garde. Segera setelah kutub pandangan ini muncul, pada tahun 1861 lahir kutub lawanya yang di pengaruhi sosoialisme (Manifesto Realis yang di lukiskan oleh pelukis Gustav Courbet dan penyair Sosialis Carles Boudelaire). Pada tahun 1880 dimulailah perdebatan yang kemudian menjadi berkepanjangan tentang art of art’s sake (Bentara, 2002: 165).

    Kritik Wan Anwar, sesungguhnya baru mengkritik agenda sastra era reformasi apabila pembacaan sastra Indonesia yang ia persoalkan diartikan pembacaan sastra era Orde Baru dan sastra era reformasi, Pada permasalahan ini yang tetap berada pada dataran literer yang mengutamakan masalah kualitas dan pengabaian dimensi estetik bisa dan bahkan selayaknya dikritik dengan mempertanyakan, berapa lama mereka akan berlangsung? Akankah ini akan mencapai sebagian besar dari mereka? apakah kebenaran dari pengalaman ini dan bagaimana saya dapat meraihnya? mengapa hal ini bisa terjadi?

    “Krisis kemanusiaan merupakan krisis pemahaman: apa yang sungguh-sungguh kita pahami dapat kita lakukan” demikian ujar Raimond Williams. Di satu sisi latar belakang sosial-budaya sastra era reformasi mudah di kenali, sementara di sisi lain latar belakang dimensi estetiknya nyaris tak bisa di kenali. Saya kira, pernyataan ini yang membuat kualitas satu tema dalam karya sastra cenderung mengangkat karya-karya era reformasi yang menurut Wan Anwar mengandung masalah yang dilihat sebagai “fenomena dua kubu” dan menafikan karya-karya yang menonjolkan dimensi literer. Dalam hal ini pengabaian dimensi plural (sastra seks dan sastra Islami) bukan persoalan tidak mau, tapi tidak bisa di hindarkan.

    Membentuk suatu masyarakat (sastra) adalah menemukan makna dan tujuan bersama. Dan pertumbuhan suatu masyarakat terletak pada perdebaatan aktif dan perbaikan (amandemen) di bawah teknan-tekanan pengalaman, hubungan dan penemuan, menuliskan diri mereka sendiri agar membumi. Ini pula yang seharusnya dimaknai oleh Wan Anwar sebagai keseluruhan cara hidup bersastra. Makna bersama; untuk memaknai “kualitas” dan proses sebagai kegiatan-kegiatan khusus penemuan dan upaya kreatif. Setidaknya dapat di katakana bahwa Wan Anwar telah menempatkan “harapan” sastra semisal literary criticism atau art criticism.

    Permasalahan mendasar sastra kontekstual itu adalah wacana lokal (local discourse) yang tidak lain adalah pengetahuan kesusastraan yang tertindas wacana “internasional” yang Ero-amerisentris. Terabaikanya pembahasan dimensi estetis dalam pembacaan sastra kita terjadi karena wacana kesusuartaan kita masih kabur dan bukan karena wacana tentang kualitas literer sebuah tema dalam karya sastra.

    Memang salah satu agenda sastra reformis, seperti di uraikan juga oleh Wan Anwar, adalah membebaskan pengetahuan yang terdomonasi. Namun dalam permasalahan sastra Indonesia sekarang, agenda ini membebaskan wacana kebebasan dari hegemoni yang menjadikanya wacana yang di kenali dan terbaca secara komprehensif, ternyata tidak pernah sampai pada realisasi.

    Wan Anwar dengan cermat mengulas hegemoni budaya dengan tanda-tanda yang terkesan alami tetapi sesungguhnya di konstruksikan. Pengakuan atas “kualitas” ini menunjukan terjadinya pemaksaan citarasa kelompok tertentu berdasarkan persetujuan. Mestinya, perkembangan kritik sastra, menggunakan istilah “konvensi” sebagai pertimbangan-pertimbangan teoritis untuk menjalaskan monopoli dan penyebaran kesepakatan. Karena ini adalah wilayah pengetahuan, dalam kegiatanya untuk membangun kesadaran. Yang menurut saya, persepsi seperti semisal Wan Anwar pasti sangat berpengaruh walaupun tidak kentara.

    Wacana tentang kualitas sastra bisa dikaji secara konvensi, tentu dibatasi konteks. Melalui pembatasan ini, prinsip-prinsip yang dilumrahkan dalam konvensi ini bisa dilihat sebagai kesepakatan, kepercayaan umum, walaupun dalam kondisi simpang siur, tidak tersusun, tumpang tindih dan tidak jelas. Justru karena kondisinya yang kacau konvensi yang dibatasi konteks ini bebas dari dominasi yang di istilahkan oleh Jim Supangkat, dengan “konvensi tak bertuan”. Walaupun nantinya, tidak ada faham yang menjadi dominan dalam kondisi amburadul semacam ini. Melainkan seorang intelektual bertekad untuk menjadi bijaksana menurut mereka sendiri.

    Sikap politik sastra tidak berniat melakukan perubahan nilai, atau perubahan sosial, apalagi dalam sekejap, tetapi menempuh setrategi “oposisi” terhadap dominasi dan represi. Melalui kedudukan oposisi ini sastra mengajukan gambaran-gambaran alternative, metafora, atau informasi yang di bentuk berupa humor, ironi, kemarahan ataupun rasa haru, agar wajah dan suara yang selama ini tidak tampak dan bungkam bisa di lihat ada dan di dengar. Apakah represi “kualitas” akan menjamin terjadinya pengkayaan pengalaman estetik? Itu tidak bisa dipastikan. Yang lebih bisa di pastikan adalah, pengabaian segala kompleksitas gagasan, latar belakang, nuansa sosial atau soal lain akan mempersempit pemahaman kita tentang estetika.

    ***

  5. one word 4 U: gooooooooooooood……..

Tinggalkan komentar