Partai Kenangan Buruk


Ketika demokrasi tak memberi kepuasan lahir dan batin bagi sebagian orang, kekerasan dan pemaksaan terhadap institusi demokrasi acapkali menjadi alternatif terakhir untuk mencapai tujuan politik: kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi hanya cocok untuk masyarakat yang siap menang, tetapi tidak siap untuk kalah.

Dalam masyarakat yang hanya siap menang, tapi tidak siap kalah demokrasi kerap tergantikan oleh mobokrasi. Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi. Pengerahan massa untuk mengepung gedung KPU adalah model mobokrasi, di mana akibat tidak mengakui kekalahan—dalam pertarungan politik—sebuah institusi demokrasi digugat. Institusi demokrasi tidak lagi dipercaya.

Dalam skala yang lebih ekstrim, disertai perusakan gedung hingga situasi chaos. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Lantaran belum disahkannya pemekaran Propinsi Tapanuli, massa mengobrak-abrik gedung DPRD Sumut. Akibatnya seorang ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat menjadi tumbal keberingasan massa. Ia meninggal dunia. Inilah yang disebut sebagai ”mobocrazy”. Demokrasi edan.

Demokrasi bisa edan. Juga bisa bikin orang naik darah. Bahkan juga bisa bikin rusak silaturahim. PKB, misalnya, lantaran mengalami konflik internal: terpecah menjadi dua kubu. Ia contoh mutakhir betapa demokrasi yang selama ini diagung-agungkan secara totalitas sulit dipraktikkan. Selalu ada goncangan dari dalam. Tokoh utama dalam tubuh partai berlambang bola dunia tersebut, Gus Dur, yang dikenal sosok pejuang demokrasi, hampir larut ke dalam mobokrasi. Pernah suatu ketika, dalam sebuah konferensi pers, beliau berseru kepada massa PKB kubunya untuk mengepung KPU dan KPUD di seluruh Indonesia, sebab institusi tersebut dianggap telah mencampuri urusan internal PKB.

Pernyataan beliau tentu mengagetkan para demokrat sejati di negeri ini. Gus Dur, yang mengagumi Mahatma Gandhi kenapa berseberangan dengan prinsip perjuangan tanpa kekerasan? Tapi Gus Dur bukanlah Gandhi. Gus Dur ya Gus Dur. Dan, (dulu) sebagai tokoh—yang sangat sentral—PKB, di belakang gerbong beliau terdapat ribuan massa yang dikenal sebagai ABG (Anak Buah Gus Dur).

Memang, dalam politik, kekuasaan selalu membutuhkan kesetiaan. Relasi antara kekuasaan dan kesetiaan selalu melahirkan mistifikasi. Ini karena kepemimpinan didasari oleh kharisma sang pemimpin. Soekarno disebut-sebut mewakili model kepemimpinan semacam itu. Begitu pula dengan Gus Dur. Oleh massanya, ia pernah dipercaya sebagai manusia setengah wali.

Itulah sebabnya, demi kekuasaan, meski sudah tak hidup di dunia Soekarno, misalnya, masih selalu dihadirkan, dihidupkan dalam kampanye. Lihat saja poster para caleg berlambang banteng, untuk menambah kepercayaan dirinya, mereka memasang foto Bung Karno di belakangnya.

Padahal gaya kepemimpinan, kemampuan, maupun kharisma Soekarno, bagaimanapun juga tak bisa diturunkan kepada siapapun, sekalipun kepada anak cucunya. Karena Soekarno adalah Soekarno berikut jiwa dan raga yang melekat pada dirinya. Bukan jiwa dan raga yang bisa dipisah-pisah dan diwariskan selayakya harta warisan. Soekarno ya Soekarno. Gundulpringis ya Gundulpringis. Tongtongsot ya Tongtongsot. Dst.

Relasi kekuasaan dan kesetiaan juga memproduksi irasionalitas. Seperti seorang prajurit perang yang selalu siap melaksanakan perintah atasan tanpa reserve sama sekali: Siap gerak! atau seperti sabda ”saya mendengar” dan lalu ”saya melaksanakan”. Atau dalam tindak mobokrasi, orang ramai-ramai merusak apa saja. Ia dalam keadaan anonimitas. Kehilangan identitas diri. Orang semacam itu, bagi Descartes, dianggap ”tak ada”. Karena yang ”ada” hanyalah seperti dalam ungkapannya cogito ergo sum ”aku berpikir maka aku ada”.

Andai filsuf eksistensialis tersebut hidup di Indonesia pada jaman sekarang, barangkali ia juga akan memaklumi sikap massa yang tidak rasional itu. Sebab tanpa massa yang setia, kekuasaan tak bermakna apa-apa. Singkatnya, dalam politik, yang sarat dengan semangat massa dan persaingan, filsafat Descartes tidak akan laku. Yang laku adalah ”aku ikut maka aku ada”. Karena demokrasi bagaimanapun juga membutuhkan keikutsertaan massa yang banyak, massa yang tanpa pikir panjang, massa yang setia kepada elite.

Politik itu permainan
Bila elite menganggap politik sebagai permainan, maka kemenangan dan kekalahan seharusnya diniscayakan. Wajarnya dalam sebuah permainan, ada aturan main yang musti dipatuhi agar persaingan untuk mencapai kemenangan tidak dinodai oleh kecurangan. Tapi, sebagaimana biasa dalam sebuah permainan, pelanggaran dan kecurangan kerap terjadi. Seperti inilah yang juga terjadi pada PKB.

Terlepas dari kubu mana yang curang, yang jelas sebuah permainan akan berakhir dengan kemenangan bagi satu pihak, dan kekalahan bagi pihak lain. Kubu Cak Imin kini boleh berbangga.

Namun menurut saya justru inilah momentum tepat bagi sebuah partai yang dituntut untuk lebih modern, di mana kebesaran sebuah partai politik tidak lagi melekat pada nama besar seorang tokoh di dalamnya. Melainkan karena visi strategis dan kemampuan manajerial seorang pimpinan partai, sistem kerja dan administrasi yang rapih, serta sumber daya manusia di dalamnya yang jempolan. Faktor-faktor di atas mengandaikan sebuah manajemen modern mirip korporasi, hanya bedanya pada orientasinya yakni kekuasaan.

Coba buktikan Cak, kalau tanpa Gus Dur, PKB juga bisa besar. Buktikan kepada rakyat kalau PKB bukan Partai Kejar Bondo. Bukan Partai Keluarga Besar. Bukan Partai Kekurangan Bondo. Bukan Partai Kekurangan Bolo. Juga bukan Partai Kenangan Buruk. Bukan pula Partai Kebangkitan Bubar baelah.

Tragisnya, selama ini sebagian besar elite tidak mengejar kekuasaan saja, tapi juga bondo. Kekuasaan dan bondo sudah menjadi satu paket tujuan elite dewasa ini. Untuk meraihnya, tentu dengan modal yang besar pula, bukan? Masih adakah yang bertujuan semata-mata untuk kemaslahatan rakyat? Ah masa sih… .

9 Februari 2009

Penulis: Akhwan Jaya Saputra,
Pegiat di Nyalaterang Institute