Download


cari n cari dapet deh

2 Responses to Download

  1. istiyono says:

    GOOD GOVERNNCE DALAM PARTAI POLITIK

    BAB I
    PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang
    Partai Politik (Parpol) sebagai lembaga yang ada pada konsepsi demokrasi dan menjadi pilar dari demokrasi itu sendiri merupakan wahana atau sarana atau tempat untuk menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik, sehingga parpol harus berfungsi sebagai sarana pendidikan politik dengan cara menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salahnya juka perbaikan negeri ini diawali dengan perubahan sistem dalam partai politik, karena partai politik adalah lembaga yang melahirkan konstitusi dan pemilihan umum yang menentukan pemimpin negeri ini.
    Tidak dapat diniscayakan bahwa peran parpol memang menjadi jantung dari sistem pemerintahan yang representatif, karena melalui parpol, proses rekruitmen pejabat publik hingga pimpinan negara berlangsung, maka pendidikan politik dalam parpol harus berlangsung secara sehat dan berkualitas agar terpilih pemimpin yang baik dan berkualitas pula. Dengan demikian, peran dan fungsi parpol lebih jauh adalah penggerak proses pembangunan di sebuah negara demokratis. Bagaimana tidak, setiap proses pengambilan keputusan/kebijakan negara berada di tangan elite-elite yang juga merupakan representasi parpol.
    Partai politik merupakan organisasi artikulatif yang terdiri dari agen-agen politik yang aktif dalam masyarakat, yang mempunyai perhatian untuk mengontrol kekuasaan pemerintah dan yang berkompetisi untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin dari kelompok lain atau dari kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda. Maka partai politik merupakan penghubung yang mensinergikan seluruh kekuataan sosial maupun segenap ideologi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang resmi mengaitkan dengan aksi politik secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat.
    Dalam kehidupan bernegara partai politik merupakan representation of ideas yaitu mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan secara ideal dan hendak diperjuangkan. Ideologi, platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik. Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur etnis, agama, suku bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional
    Partai politik juga merupakan alat bagi orang yang bergabung secara terorganisir yang memiliki landasan idiologis dan cita-cita yang sama tentang sebuah masyarakat dan negara yang dicita-citakan (community ideas). Dengan demikian partai politik adalah sarana yang sah bagi berbagai kelompok masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan pandangan politiknya tentang kehidupan masyarakat dan negara yang dicita-citakan. Agar dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, tentunya partai politik membutuhkan dana baik untuk logistik operasional maupun sarana agitasi masa. Kebutuhan dana untuk menghidupi partai dari tingkat pusat hingga sampai tingkat desa sangatlah besar. Apalagi menjelang event Pemilu dan Pilkada seperti sekarang ini. Semua kebutuhan ini biasanya dipenuhi dari bantuan yang bersumber dari iuran anggota, sumbangan dari badan maupun personal, bantuan dari negara dan hasil usaha partai.
    Demokrasi membutuhkan biaya besar, negara wajib mendanai kegiatan-kegiatan politik dalam rangka penataan dan pembangunan sistem ketatanegaraan seperti perubahan konstitusi dan pemilu. Partai harus membiayai aktivitas (fungsi), kebutuhan rutin organisasi dan pemilu, yang dimaksud aktivitas adalah kegiatan yang berkaitan dengan fungsi partai. Tanggung jawab pembiayaan partai makin berat dalam sistem demokrasi. Besar kebutuhan dana variatif yang dipengaruhi oleh faktor sistem internal partai, sistem kepartaian, sistem pemilu, waktu penyelenggaraan pemilu, dan faktor media kampanye, dan sebagainya. Sistem itu berbeda dari sistem otoritarian-birokratis masa rezim Orde Baru. Dalam sistem ini, penguasa menyedot uang negara (rakyat) dan menggelontorkan untuk kelanggengan rezim, mesin pemilu (Golkar dan TNI/Polri), dan partai (PDI dan PPP), pada waktu itu partai dimanjakan dan tidak pernah mandiri dalam hal pembiayaannya.
    Lazim di negara demokrasi, sumber dana partai dari internal dan eksternal. Dana internal antara lain dari “dana basis” (istilah ini digunakan di AS), yakni dana dari iuran anggota dan pendukung bukan anggota. Sumbangan elite partai atau dana “peraup kenikmatan” bunga tabungan/deposito partai termasuk “dana basis”. Dana eksternal atau nonbasis terdiri atas dana plutokratis dan dana negara. Dana plutokratis dari para “dermawan kelas kakap” atau badan hukum. Kredit untuk partai juga dianggap sebagai dana plutokratis. Dana internal mendapat apresiasi positif masyarakat demokratis. Prinsip yang selalu ditekankan adalah sukarela, sadar, dan tak ada paksaan. Di sini, anggota merasa bertanggung jawab terhadap partai. Sebaliknya, dana plutokratis dinilai berpotensi “mengendalikan” partai dari luar dan dianggap mencemarkan demokrasi internal.
    Sangat jarang atau bahkan tidak ada partai yang memberlakukan iuran anggota sehingga sumber itu tak terandalkan. Dana plutokratis, khususnya sumbangan calon dan anggota partai yang duduk di Dewan, menjadi andalan. Kebutuhan besar dalam pemilu mengakibatkan mereka mengalokasikan dana bantuan dalam jumlah besar. Fenomena tersebut menunjukkan beberapa hal. Pertama, jarak anggota dengan pengurus partai sangat senjang. Kedua, tidak ada pemahaman terhadap perubahan sistem pembiayaan partai, dari paradigma otoritarian ke demokratis; dari dimanjakan ke arah mandiri. Ketiga, partai cenderung menempuh jalan pintas, (Joko: 2004).
    Perilaku Dewan yang mematok bantuan dana partai yang besar dan tuntutan eksesif partai baru terhadap bantuan dana di atas menjadi bukti uraian terdahulu, pada titik itu, muncul dilema kebijakan bagi eksekutif (pemerintah daerah). Tak mungkin menolak dana bantuan partai lama yang besarannya bermasalah, namun memberikan dana bagi partai baru. Pada satu pihak, tak adil menuntut partai baru konsisten dengan paradigma baru pembiayaan mandiri, sedangkan partai lama mempertahankan paradigma lama.
    Berkaitan dengan hal tersebut, kalau kita berbicara Good Governance dalam partai politik, maka ada beragam persoalan fundamental yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas, transparansi dan akuntabilitas partai yang mendukung terwujudnya Good Governance dalam partai politik yaitu diantaranya adalah : (1) Masalah keuangan (2) Masalah pelaporan kepada publik (3) Masalah organisasi sayap partai (4) Masalah pendidikan politik dan sistim kaderisasi dan (5) Dorongan bagi model kepengurusan yang kolegial-collective-spesialisasi dan mekanisme penyelesaian konflik.
    Pengesahan UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ini sudah memberikan beberapa catatan terkait pengaturan pendanaan partai politik, yaitu secara ekspilisit diatur dalam BAB XV Tentang Keuangan yang terdiri dari 6 (enam) pasal (dari pasal 34-39). Catatan kritis terhadap pengaturan pendanaan partai politik di dalam Undang-Undang Partai Politik menunjukkan penurunan drastis terhadap asepek akuntabilitas. Diantara pasal yang terkait dengan catatan ini adalah hilangnya pembatasan batas sumbangan internal, hilangnya kewajiban audit eksternal terhadap keuangan parpol, dan pergeseran pengaturan dana parpol ke dalam aturan internal parpol.
    Kewajiban pencatatan dan pelaporan dana parpol di daerah diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi publik di daerah untuk mengontrol keuangan parpol di daerah. Di dalam UU ini tidak ada pengaturan tentang batasan sumbangan para kandidat legislatif baik di pusat maupun di daerah dan tidak ada batasan sumbangan dari partai politik untuk rekening dana kampanyenya sendiri. Hal ini akan sangat memungkinkan kantong penerimaan parpol yang tidak akuntabel menjadi tempat masuk dana-dana dari sumber tidak jelas dan dalam jumlah besar yang jauh dari kontrol publik sangat mengkhawatirkan karena ketidaksempurnaan pengaturan ini akan menjadi peluang yang besar bagi terjadinya korupsi pemilu yang volume dan frekuensinya akan besar dari yang sudah terjadi pada pemilu 2003 yang lalu.
    RUU Partai politik yang telah disyahkan menjadi UU pada 6 Desember 2007 lalu oleh DPR RI ternyata masih menyisakan berbagai permasalahan.UU yang baru ini meski di dalam beberapa hal menunjukkan kemajuan, akan tetapi secara umum menunjukkan kemunduran. UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik ini meminimalisasi aturan main tentang dana partai politik. Batasan sumbangan untuk parta politik kini tidak lagi diterapkan kepada pihak internal partai politik. Tidak jelas apa alasannya, akan tetapi pengaturan ini jelas akan menjadi bumerang buat partai politik itu sendiri, sebab sumbangan-sumbangan yang masuk lewat kader danb simpatisan parpol termasuk yang menduduki jabatan publik dipastikan tidak akan bisa dikontrol lagi. Padahal hal ini yang sering dipermasalahkan terkait keuangan parpol di publik.
    Kasus-kasus dugaan korupsi yang terungkap, sebutlah dana taktis Nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (Dana DKP) dan Damna Abadi Umat (Dana DAU) di Departemen Agama jelas menunjukkan peran parpol liar dan tidak terkontrol dalam kaitannya dengan posisi kadernya di publik. Aturan main di dalam Undang-Undang parpol yang lama (UU No 3 tahun 2002) justru memberikan batasan sumbangan baik inbternal maupun eksternal. Akan tetapi masih sangat sulit dalam hal penerapannya karena lemahnya komisi pemilihan umum di dalam penerapan sanksi terkait skandal pendanaan partai politik. Pengaturan tentang batasan sumbangan sebenarnya sangat krusial dan ini luput diatur secara bijak di dalam UU No 2 Tahun 2008. Akibatnya sudah dapat dibayangkan parpol akan mudah dipengaruhi oleh sumbangan-sumbangan internal yang tidak terkendali, dana-dana ini dapat berasal dari sumber publik atau bisa dari hasil korupsi, atau pencucian uang seperti yang sudah-sudah terjadi.
    Selain tentang batasan pendanaan, aturan lain yang luput dari peraturan ini adalah tentang pencatatan dan pelaporan yang diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing partai politik. Pengaturan ini dihawatirkan akan semakin mengacaukan pencatatan dan pelaporan. Apalagi parpol yang ada sekarang sedikit sekali yang menganggap pencatatan dan pelaporan sebagai hal yang penting. Bahkan laporan ke KPU setiap tahunnya saja hanya dijalankan oleh tidak lebih dari sepertiga jumlah parpol peserta pemilu dan tidak lebih dari 10 % dari parpol yang terdaftar di KPU dan Depkumham.
    Dalam Pasal 37 UU No 2 Tahun 2008 disebutkan bahwa “pengurus partai politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah satu tahun anggaran berkenaan berakhir” yang artinya bahwa partai politik menyampaikan laporan keuangan dan laporan dana kampanye pemilihan umum kepada Komisi Pemilihan Umum setiap satu tahun sekali. Partai politik seharusnya membuat laporan keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali dan memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum serta menyerahkan laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.
    Dasar hukum yang jelas ternyata belum dipahami benar oleh partai politik. Pengalaman di Pemilu 2004 lalu, berdasarkan data dan catatan di Komisi Pemilihan Umum hingga batas waktu yang ditetapkan 12 Juli 2004 baru, tujuh partai politik yang menyerahkan hasil audit dana kampanye pemilu legislatif. Ini artinya masih ada tujuh belas partai politik lagi yang belum menyerahkan audit dana kampanyenya ke KPU. Pada pemilu tahun 2004 dari 24 kontestan pemilu, hanya terdapat tujuh partai politik yang laporan keuangannya tidak ditemukan penyimpangan. Sedangkan untuk laporan keuangan tahun 2005, penyerahan laporan keuangan partai politik (Parpol) yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dari partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) paling lambat tanggal 7 Juli 2006. Namun, hingga 7 Agustus 2006 baru tiga partai yang memenuhi kewajibannya itu.
    Studi ini akan mencari dan memaparkan tentang bentuk good governace dalam partai politik dengan berdasarkan pada UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Dengan studi ini akan dilakukan kajian yang mendalam terhadap implementasi UU tentang Partai Politik tersebut dalam upaya perwujudan good governance dengan dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip good governance dan akan mengetahui bagaimana penerapan prinsip-prinsip good governance dalam partai politik berjalan.

    B.Perumusan Masalah
    Penelitian ini akan berusaha menjelaskan:
    1.Bagaimana transparansi dan akuntabIlitas partai politik dalam UU No 2 Tahun 2008 yang mendorong adanya good governance dalam partai politik?
    2.Apakah strategi kebijakan yang dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai politik dalam menciptakan Good Governance dalam partai politik?
    3.Pihak-pihak mana saja yang terkait dengan kebijakan yang dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai politik untuk menciptakan Good Governance dalam partai politik.
    C.Tujuan Penelitian
    1.Melakukan studi tentang isi (content analysis) terhadap pendanaan partai politik yang diatur dalam UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
    2.Melakukan pemetaan masalah terhadap implementasi transparansi dan akuntabilitas dana partai politik berdasarkan UU No 2 Tahun 2008 tentang partatai politik.
    3.Menentukan strategi kebijakan yang dapat mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai politik (misalnya dengan peraturan KPU/KPUD).
    4.Menentukan pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tentang transparansi dan akuntabilitas partai politik.

    D.Manfaat Penelitian
    Sesuai dengan permasalahan yang sedang dikaji maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
    a.Manfaat teoritis
    Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya studi politik, khususnya dalam eksistensi partai politik dalam tata kenegaraan dan bagaimana melakukan reformasi dalampartai politik.
    b.Manfaat praktis
    Dengan studi ini akan diperoleh gambaran mengenai partai politik yang telah menerapkan prinsip-prinsip good governance dan partai politik yang belum menerapkan serta mengetahui hambatan dan kendalanya dengan berdsarkan pada UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
    E.Kerangka Pikir/Alur Pikir
    1.Partai politik adalah sebagai pilar demokrasi, dan menjadi sarana yang masih sangat penting dalam kepemimpinan negara melalui pemilu. Reformasi dalam partai politik menjadi kesuksesan reformasi dalam tingkatan makro yaitu reformasi kehidupan bernegara.
    2.Dalam perjalanannya, eksistensi partai politik membutuhkan dana yang besar. Sedangkan dana partai politik dapat diperoleh dari dana iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan dari bantuan APBD/APBN.
    3.Partai politik telah diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang partai Politik. Dalam UU ini tidak ada pengaturan tentang batasan sumbangan para kandidat legislatif baik di pusat maupun di daerah dan tidak ada batasan sumbangan dari partai politik untuk rekening dana kampanyenya sendiri dan tidak ada sistem pelaporan yang jelas.
    4.Good Governance adalah penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik. good governance dapat dikatakan sebagai tolok ukur terhadap pemerintahan yang baik tersebut. Memahami good governance berarti menjalankan prinsip-prinsip yang ada di dalamnya, diantaranya adalah transparansi dan akuntabilitas.
    5.Setiap partai politik pasti mempunyai pendanaan yang cukup kuat, sedangkan sumber keuangan partai dapat diperoleh darimanapun dan berdsarkan UU No 2 Tahun 2008 tidak ada sistem pelaporan yang tegas dan bersifat kewajiban dari partai politik kepada pemberi dana misalnya dari APBN/APBD.
    6.Bagaimana prinsip-prinsip good governace berjalan di partai politik, adapun indikatornya adalah bagaimana system pelaporan Partai politik, adakah auditor independen dan bagaimana sistem akuntabilitas partai politik kepada publik.
    7.Dengan indikator tersebut maka akan diketahui bagaimanakah prinsip-prinsip good governance tersebut dijalankan oleh partai politik yang menjadi obyek penelitian ini.

    Secara lebih detailnya kerangka pikir atau alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

    Gambar E.1 Kerangka Pikir/Alur pikir

    BAB II
    TINJAUAN PUSTAKA
    A.Pengertian Partai Politik
    Partai politik adalah suatu wadah atau sarana bagi setiap masyarakat guna berpartisipasi dalam bidang politik. Oleh karena itu, dalam membahas sistem politik dalam suatu negara, maka tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan atau mempelajari partai politik sebagai suatu komponen dari sistem politik itu sendiri. Ada beberapa pengertian partai politik, sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa pakar ilmu politik terkemuka. Untuk memberikan gambaran yang baku dan pemahaman yang sama mengenai pengertian partai politik, maka di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat dari beberapa sarjana, antara lain sebagai berikut:
    Sebagaimana yang dilakukan oleh Carl J. Fiedrick (1967;419) dalam tulisannya yang berjudul Constitutional Goverment and Democracy : Theory and Practice in Europe an America bahwa partai politik adalah:
    “A group of human beings, stabily organized with the farther objective of securing or maintaining for its leaders the control of a goverment, with the fartherobjective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages (sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerinyahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil)”.

    Sedangkan Sigmund Neumand (1963:352) dalam tulisannya berjudul Modern Political Parties, memberikan batasan partai politik sebagai berikut bahwa:
    “A political party is the articulate organization of sociaty’s active political agents, those who are concerned with the control of govermental power and who compete for popular support with another group or groups holding divergent view (Partai politik adalah organisasi dari para aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda)”.

    Pengertian yang diberikan oleh dua pakar ilmu politik yaitu Carl J. Friedrick dan juga Sigmund Neumann di atas, masih belum memberikan suatu dambaran atau pengertian yang senyatanya mengenai partai politik itu. Misalnya saja, pendapat mereka masih kurang menjelaskan kepada para pembaca tentang apakah yang dimaksud dengan organisasi partai politik, kurang menjelaskan tentang apa atau siapa yang dimaksudkan dengan pelaku-pelaku politik yang aktif, dan sebagainya.
    Tetapi seorang sarjana lainnya dari barat yaitu R.H Soltau memberikan suatu pengertian yang jauh lebih sederhana dari pengertian yang telah diajukan oleh Carl J. Friedrick dan Sigmund Neumann di atas. Soltau dalam bukunya An Introduction To Politics (1961 : 199) berpendapat bahwa partai politik adalah:
    “A group of citizens more or less organized, who act a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general policies (partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka)”.

    Selain Soltau, Muszar dan Stevenson (1979 : 89) juga memberikan pengertian partai politik yang kupasannya pun cukup sederhana, yang pada dasarnya mereka berdua memberikan pendapat bahwa: “Partai politik ialah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan programnya dan menempatkan/ mendudukan anggota – anggotanya dalam jabatan pemerintahan”. Akhirnya Seorang Sarjana Politik Senior dari Indonesia, Prof. Miriam Budiardjo (1977 : 160) sebagai Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, berpendapat bahwa partai politik adalah:
    “Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota – anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai dan cita – cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan- kebijaksanaan mereka”.

    Bilamana kita cermati pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, maka pada dasarnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan partai politik itu pada hakekatnya adalah merupakan suatu kelompok masyarakat atau warga negara yang telah terorganisasi, dimana para anggota yang terhimpun itu mempunyai kesatuan cita-cita atau tujuan. Organisasi tersebut berusaha memperoleh dukungan rakyat, sedangkan yang menjadi tujuan organisasinya adalah untuk memperoleh dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan dan kemudian berusaha untuk melaksanakan kebijaksanaan- kebijaksanaan organisasimya dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan politik ataupun pemerintahan.
    Dengan kata lain, bahwa dari pengertian partai poitik yang dikemukakan di atas akan ditemui empat unsur utama, yaitu : pertama, ada beberapa perangkat yang melekat pada partai politik merupakan sekumpulan orang yang terorganisasi; kedua, partai politik memiliki tujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan; Ketiga, guna merealisir tujuan ini, partai politik berupaya memperoleh dukungan seluas-luasnya dari masyarakat lewat pemilhan umum ; Keempat, partai politik memiliki prinsip-prinsip yang disetujui bersama oleh antar anggota partai.
    Mengenal cara-cara yang dipergunakan partai politik agar dapat memeperoleh kekuasaan tadi dan kemudian menduduki jabatan politik ataupun pemerintahan adlah melalui cara yang konstitusional, seperi halnya ikut dalam pemilihan umum. Dan ada pula yang memperoleh kekuasaan dengan cara yang tidak konstitusional, misalnya dengan cara kudeta terhadap pemerintahan yang sah atau dengan cara pemberontakan.
    Berdasarkan uraian di atas, maka pada hakekatnya partai politik dibatasi sebagai organisasi masyarakat yang diikat oleh prinsip-prinsip yang disetujui bersama untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan lewat dukungan seluas-luasnya dari masyarakat dalam pemilihan umum. Oleh karena itu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan lewat dukungan seluas-luasnya dari masyarakat dalam pemiliham umum. Oleh karena itu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewkili kepentingan tertentu, memeberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai. Sebagai organisasi yang berfungsi mengartikulasikan kepentingan dan tuntutan rakyat, partai politik seringkali dibaurkan pengertiannya dengan kelompok kepentingan (interest group) ataupun kelompok penekan (pressure group).
    Perlu ditegaskan, menurut Miriam Budiardjo (1977:162) bahwa partai berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali dengan memakai cara-cara politik. Dibandingkan dengan partai politik, gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya dan kadang-kadang malahan bersifat ideologis. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat diantara anggota-anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu identitas kelompok (group identity) yang kuat. Organisasinya kurang ketat dibanding dengan partai politik. Berbeda dengan partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan umum.
    Lebih lanjut Miriam Budiardjo menyatakan (1977:162), bahwa partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan suatu “kepentingan “ dan mempengaruhi lembaga–lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan para wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang – karena mewakili pelbagai golongan – lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok kepentingan lebih kendor dibanding partai politik.
    Senada dengan pendapat Miriam Budiardjo di atas, maka Maurice Duverger dalam buku terjemahannya berjudul Partai Politik dan kelompok-kelompok penekan, menyatakan bahwa tujuan utama partai politik adalah menaklukan kekuasaan, partai itu berusaha untuk memenangkan kursi dalam pemilihan, untuk dapat menentukan materi dan perwakilan-perwakilan dan dapat mengendalikan pemerintahan. Agar tujuan ini dapat tercapai, partai politik itu berusaha memperoleh dukungan dari masyarakat luas. Sedangkan kelompok penekan bukan mencari kekuasaan untuk dirinya sendiri, melainkan hanya melancarkan pengaruh atas mereka yang sedang berkuasa, dan dukungannya hanya terbatas pada sejumlah orang yang mempunyai kepentingan khusus.
    Walaupun demikian di dalam kenyataannya perbedaan antara keduanya yaitu kelompok kepentingan dengan partai politik tidak senyata dan setegas itu. Perbedaan yang sama sekali tidak jelas antara partai politik dengan kelompok kepentingan. Ini dinyatakan dalam buku The Comparative Study Of Politics hasil karya dua orang sarjana politik terkenal yaitu David F. Roth dan Frank L. Wilson (1980;190). Mereka berpendapat bahwa perbedaan yang paling penting adalah bahwa partai politik berusaha mencari kekuasaan melalui pemilihan-pemilihan atau cara-cara yang lain untuk menduduki jabatan-jabatan publik, sementara itu kelompok kepentingan pada umumnya hanya berusaha mencoba mempengaruhi para pemegang kekuasaan.
    Sebetulnya partai politik dibentuk untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan dengan mengajukan calon-calon untuk jabatan politik. Partai politik bertindak sebagai instrumen perwakilan dan sarana untuk menjamin pergantian pemerintah secara teratur dan tanpa pergolakan yang dapat menghancurkan keseluruhan sendi-sendi masyarakat dan negara yang sudah mapan. Tetapi perkembangan partai politik di negara yang sedang berkembang seringkali berkaitan dengan proses pembentukan identitas nasional, pembentukan kerangka sistem politik, pengabsahan lembaga pemerintahan serta usaha-usaha untuk memperkuat persatuan nasional.
    Dalam hal ini seringkali partai tidak berfungsi sebagai penyedia akses bagi penyalur tuntutan yang absah kepada penguasa, tetapi hanya semata-mata. Sebagai elemen dalam strategi persatuan nasional dan pengontrol perbedaan pendapat. Seharusnya partai politik berkembang untuk mewakili rakyat, mempengaruhi pergantian kepemimpinan politik, baik lokal maupun nasional secara teratur dan damai. Menyediakan akses bagi keanekaragaman yang ada serta menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya dengan segala konsekuensi dan tanggungjawab.
    B. Pengertian Good Governance
    Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah good governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Meskipun kata good governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian good governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan good governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasional masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu termasuk juga dengan kinerja partai politik.
    Secara ringkas good governance pada umumnya diartikan sebagai sebagai upaya pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ di sini dimaksudkan mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance. Pada era otonomi daerah, good governance telah menjadi sebuah parameter dari tuntutan masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintah. Sebagai aktor penting dalam menjalankan proses dan praktek perumusan dan implementasi kebijakan, aparatur pemerintah dituntut dapat mewujudkan good governance dalam praktek pemerintahan. Dalam semangat otonomi daerah, kinerja pemerintah baik eksekutif maupun legislatif yang semula berstandar pada prinsip responsibility, dan obligation saja kini harus bertambah dengan prinsip public accountability (pertanggungjawaban publik).
    Perdebatan (discourse) mengenai tema Good Governance (GG) kian intensif dan meluas seiring dengan meningkatnya desakan masyarakat akan adanya perubahan atas praktek penyelenggaraan negara (baca: pemerintah) di seluruh levelnya. Tidak hanya dilevel pemerintah saja, di sektor swastapun (masyarakat bisnis) tuntutan untuk melakukan perubahan juga berhembus kencang. Maka lahirlah konsep Good Corporate Governance (GCG). Ditilik dari istilahnya, tentu saja GG ataupun GCG bukanlah term (istilah) yang orisinil muncul dari khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Oleh karenanya, dari sisi gagasan, GG merupakan konsep yang lahir dari dunia luar (baca: Barat) yang terlebih dulu mengalami proses evolusi dalam kaitannya dengan relasi antara negara, sektor swasta dan masyarakat sipil. World Bank, IMF dan lembaga donor internasional lainnya adalah nama-nama yang telah mempromosikan dan mempopulerkan istilah tersebut.
    Tentu saja setiap konsep yang diajukan/ditawarkan oleh siapapun memiliki tujuan substantif masing-masing. GG dan GCG dalam perspektif lembaga donor merupakan resep mujarab untuk membingkai kehidupan ekonomi, politik dan sosial secara lebih bertanggungjawab dan demokratis setelah pada tahun 1997, Asia, khususnya Asia Tenggara dilanda krisis ekonomi maha hebat. Krisis ekonomi pada tahun itu tidak sekedar membawa dampak buruk pada sektor ekonomi an sich, namun juga berimplikasi luas pada sektor lainnya seperti bidang sosial, pendidikan, politik dan keamanan. Angka kemiskinan melonjak drastis, tingkat pengangguran membengkak, jumlah anak putus sekolah melambung, kerawanan sosial terjadi diberbagai tempat, demonstrasi massa dalam jumlah sangat besar muncul dimana-mana, krisis politik yang berujung pada lengsernya pemerintah berkuasa terjadi.
    Dari aspek governance, terjadinya krisis ekonomi berkaitan erat dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di beragam level, dilakukan oleh banyak aktor/pemain dan menyebar ke berbagai pusat-pusat penguasaan sumber daya publik. Oleh karenanya, aturan yang lemah dan penegakan hukum yang mandul, tiadanya trasparansi, hilangnya akuntabilitas dan partisispasi dalam pengambilan keputusan publik, juga buruknya corporate governance menjadi target utama untuk segera dibenahi. Dengan kata lain, GG ataupun GCG merupakan sebuah definisi yang hadir untuk membenahi tata kelola pemerintahan ke arah yang lebih baik, meliputi penerapan aspek transparansi, akuntabilitas, keadilan, kejujuran dan demokratis untuk menciptakan sebuah lingkungan yang lebih sejahtera secara ekonomi, sosial dan politik.
    Kunci utama dalam memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip tersebut akan didapatkan tolok ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila pemerintahan tersebut telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menurut Hardjasoemantri (2003) menyadari pentingnya permasalahan ini, prinsip-prinsip good governance dapat dijelaskan pada paparan di bawah ini:
    1. Partisipasi Masyarakat
    Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
    2. Tegaknya Supremasi Hukum.
    Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut Hak Asasi Manusia.
    3. Transparansi
    Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
    4. Peduli pada Stakeholder
    Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
    5. Berorientasi pada Konsensus
    Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
    6. Kesetaraan
    Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
    7. Efektifitas dan Efisiensi
    Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
    8. Akuntabilitas
    Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
    9. Visi Strategis
    Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
    C Pengertian Good Governance Dalam Partai Politik
    Apapun sistem pemilihan umum yang dianut, partai politik peserta pemilu berperan dalam proses pencalonan anggota yang akan mengisi jabatan legislatif, eksekutif, bahkan judikatif. Fungsi rekrutmen politik ini begitu penting tidak saja dari segi legitimasi kewenangan tetapi juga untuk menjamin kualitas kepeminpinan bangsa pada berbagai lembaga kenegaraan di pusat dan daerah. Agar orang-orang yang direkrut kedalam berbagai posisi kenegaraan itu memiliki kualitas kepeminpinan yang diperlukan untuk melaksanakan jabatan itu, partai politik melakukan kaderisasi kepeminpinan baik dalam visi dan misi (ideologi) perjuangan partai maupun dalam bidang substansi yang sesuai dengan tugas kenegaraan. Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat pada pemilihan umum, partai politik menawarkan tidak saja calon-calon yang dinilai ahli untuk jabatan publik di legislatif dan eksekutif tetapi juga alternatif kebijakan (program) untuk merespon aspirasi dan tuntutan berbagai kelompok masyarakat.
    Karena itu walaupun partai politik bukan satu-satunya yang dapat mengagregasikan kepentingan dari berbagai kalangan dalam masyarakat tetapi partai politikiah yang melakukan rekrutmen para peminpin kenegaraan di pusat dan daerah, partai politiklah yang menyeleksi dan menata pilihan-pilihan pada pemilihan umum (structuring electoral choices), partai politiklah yang mengorganisasi pemerintahan (walaupun kadarnya tergantung pada apakah menggunakan pemerintahan parlementer ataukah presidensial).
    Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Penjelasan Umum Undang- Undang (UU) No 2/2008 tentang Partai Politik menyatakan, UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.
    Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Beberapa prinsip Good Governance antara lain transparansi, demokratis, adil,akuntabel,dan berbudaya hukum. Prinsip transparansi terlihat pada kewajiban partai politik membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat. Prinsip demokrasi terlihat pada proses pengambilan keputusan dan pengangkatan pengurus.Dalam bidang pendidikan politik, partai diminta melakukannya dengan memerhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Di samping itu, partai politik harus akuntabel dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari APBN setiap tahun kepada pemerintah, setelah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
    Prinsip budaya hukum terlihat dari ketentuan yang mengatur bahwa dalam banyak hal partai politik harus melakukan tindakan sesuai peraturan perundangundangan, serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Prinsip itu sejalan dengan prinsip public governance yang kita kenal selama ini. Kalau dibandingkan ketentuan dan prinsip good governance dengan praktik yang dilakukan partai politik, tampaknya masih jauh panggang dari api. Artinya, masih terdapat jurang yang lebar antara norma yang berlaku (das sollen) dengan praktik yang terjadi (das sein). Dengan kata lain, banyak partai politik di Indonesia belum dapat memenuhi fungsi tersebut di atas yang juga tercantum dalam UU No 2 tahun 2008.
    Pada saat ini masih ada partai politik yang belum menyalurkan aspirasi masyarakat dengan baik. Masih banyak partai politik yang belum transparan di bidang keuangan dan kegiatan lainnya. Sebagian partai politik juga sulit memenuhi fungsi untuk memecahkan konflik kepentingan di masyarakat karena di dalam partai sendiri terjadi konflik berkepanjangan. Bahkan ada partai politik yang menularkan perselisihan kepada masyarakat pendukungnya. Rekrutmen politik masih banyak dilakukan atas dasar kolusi dan nepotisme, sehingga sulit diharapkan akan lahir kader tangguh yang berakar di masyarakat. Rekrutmen ini akan melahirkan ”kader jenggot” yang selalu tergantung kepada penguasa partai. Ini juga dapat menimbulkan klik yang basisnya individual atau personal..
    Di samping itu, partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam peningkatan good governance partai politik. Untuk itu perlu dibangun koalisi antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan partai politik untuk peningkatan good governance, sekaligus untuk pemberantasan korupsi. Hal seperti ini telah dilakukan Korea Selatan dan berhasil dengan baik. Untuk memperbaiki governance partai politik, kiranya dapat dipakai formula yang ditawarkan Bank Dunia (World Bank). Pelaksanaan good governance harus mampu mencapai 3 E, yaitu empower, enable, dan enforce. Pertama, empower masyarakat untuk memperoleh pertanggungjawaban melalui partisipasi dan desentralisasi. Kedua, enable berarti partai politik merespons new demands melalui capacity building partai dan anggotanya. Ketiga, enforce, merujuk pada kepatuhan terhadap perundangundangan dan peraturan partai.
    Mengelola partai politik jelas memerlukan dana yang besar baik untuk membiayai kegiatan partai sehari-hari maupun terutama untuk keperluan kampanye pemilihan umum. Karena itu partai politik niscaya harus mencari dana baik dari iuran anggota maupun kontribusi para simpatisan, tidaklah mengeherankan bila partai politik acapkah juga disebut sebagai sarana mencari dana, akan tetapi selama ini partai politik dinilai tidak/belum memiliki akuntabilitas publik yang jelas kepada pihak yang berwenang.
    Partai politik sebagai sarana mencari dana sudah barang tentu tidak berlaku bagi semua partai politik karena bila tidak memiliki kursi dalam jumlah yang memadai dalam DPR/D tentu tidak memiliki sarana untuk mempengaruhi pihak lain. Baik UU tentang Parpol maupun UU Pemilu sudah mengatur jenis, asal/sumber, dan jumlah penerimaan dana. Sebagai badan publik partai politik diwajibkan oleh UU Parpol untuk melaporkan penerimaan dan penggunaan dana setiap akhir tahun kepada Mahkamah Agung. Kita perlu menanyakan kepada Mahkamah Agung partai politik apa sajakah yang sudah melaporkan daftar penerimaan dan laporan keuangannya kepada Mahkamah Agung, dan kalau sudah ada, apakah MA sudah menunjuk akuntan publik untuk mengaudit daftar penerimaan dan laporan partai tersebut.
    Begitu juga dengan transparansi, harus lebih luas, baik terkait kegiatan maupun keuangan partai politik. Bila tiga hal itu terpenuhi, diharapkan good governance dalam partai politik dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian, citra partai politik yang selama ini kurang baik dapat diperbaiki, sehingga menjadi harum dan ranum. Sebagaimana saat partai menebar janji-janji dan menawarkan program partainya, diibaratkan sebuah perjanjian pinjam-meminjam barang. Partai adalah pihak peminjam yang memiliki kewajiban untuk mengurus dengan baik dan harus bertanggung jawab atas barang yang dipinjamnya.  Sebagai pemilik hak suara, rakyat mempunyai hak sepenuhnya untuk menagih pertanggungjawaban partai politik atas hak suaranya.
    Namun hal ini tidak diartikan akuntabilitas partai politik hanya terbatas pada massa konstituennya (massa pemilih/anggota partai) saja sebab partai memiliki tanggung jawab yang lebih luas dari sekedar usahanya memenangkan pemilu untuk menguasai pemerintahan.  Partai harus menjalankan peran dan fungsi yang lain seperti: mempersiapkan dan melatih calon-calon pemimpin mereka serta mengontrol kader partainya yang telah duduk dalam lembaga-lembaga pemerintahan, melakukan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan serta kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, menyerap dan menghimpun aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta melakukan pendidikan politik, demokrasi, dan wawasan kewarganegaraan kepada masyarakat.  Dengan demikian siapapun berhak untuk menilai, mempertanyakan dan menagih akuntabilitas partai politik.  Semua ini dalam rangka membangun sebuah tatanan sosial politik  yang lebih baik dan bertanggungjawab, sebagaimana harapan rakyat banyak.   
    Sedangkan pengertian good governance dalam masalah keuangan partai dapat dijelaskan dengan ketentuan-ketentuan yang meliputi:
    a. Diusulkan perlunya mempertimbangkan subsidi bagi partai politik yang mendapat kursi di DPR dengan perhitungan suara yang diperoleh.
    b. Pelaporan dan pelaksanaan audit partai dibiayai oleh negara (APBN)
    c. Wewenang penentuan metode audit partai oleh tim auditor independen
    d. Tidak mengatur keuangan dalam proses pencalonan caleg, tetapi pada mekanisme/proses seleksi calon legislative yang berjenjang untuk mengatasi money politik
    e. Pengelolaan keuangan parpol hendaknya dilaksanakan secara akuntabel dan transparan

    BAB III
    METODOLOGI PENELITIAN
    A. Metode Penelitian
    A.1 Sasaran Penelitian
    Sasaran penelitian ini adalah para fungsionalis empat partai besar di Jawa Tengah yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrat (PD), KPU Provinsi Jawa Tengah dan beberapa pihak-pihak terkait yang menambah data dan informasi ytang dibutuhkan.
    A.2 Lokasi Penelitian
    Lokasi Penelitian ini adalah di Provinsi Jawa Tengah
    A.3 Metode Penelitian
    Pada dasarnya penelitian sosial bertujuan untuk menerangkan fenomena sosial atau suatu peristiwa (event) sosial. Tujuan itu dapat tercapai apabila dalam penelitian ini, maka bentuk dan strategi penelitian yang digunakan metode yang tepat. Berdasarkan perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka nentuk dan strategi penelitian yang digunakan adalah penelitian diskriptif kualitatif dalam bentuk riset yang telah terpancang (embedded qualitative reseach), yaitu bentuk riset kualitatif dengan kegiatan pengumpulan data yang terserah berdasarkan pertanyaan riset yang telah diajukan dalam proposal. Metode penelitian kualitatif membutuhkan jawaban-jawaban dan data-data diskriptif. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Bognan dan Taylor (dalam Moleong, 2002:3) bahwa mettode kualitatif sebagai prosedur pebelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang perilakunya diamati peneliti.
    A.4 Teknik Pemilihan Informan
    Dalam penelitian ini teknik penelitian informan yang digunakan adalah dengan menggunakan purposive sampling dimana peneliti lebih cendertung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui permasalahan secara mendalam. Menutur Patton dan Sutopo (1988:22) pemilihan informan ini dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peneliti dalam memperoleh data.
    A.5 Teknik Pengumpulan Data
    Metode penelitian data dalam penelitian ini secara beruntun menurut keutamaannya adalah sebagai berikut :
    A.5.1 Wawancara
    Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi kerangka dan pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan dalam proses wawancara sesuai tujuan penelitian baik secara lisan maupun tulisan. Penyusunan pedoman wawancara dilakukan sebelum wawancara berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara ditanyakan tidak secara beruntun tetapi disesuaikan dengan kondisi psikologis informan. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga kualitas dan akurasi dari keterangan yang diberikan oleh informan.
    A.5.2 Observasi
    Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap obyek yang ditujukan untuk mendapatkan data senyatanya dengan cara melihat secara lebih dekat tentang implementasi sebuah kebijakan serta selalu mengikuti perkembangan aktual terhadap fenomena yang menjadi obyek penelitian.
    A.5.3 Dokumentasi
    Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan mencatat informasi yang tersedia pada instansi-instansi terkait dalam lokasi penelitian, buku-buku, maupun keterangan lisan dari informan lain yang dapat mendukung data penelitian.
    B. Metode Analisis
    B.1 Metode Analisis Data
    Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dab dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Maleong, 2002:103). Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data secara kualitatif artinya adalah data-data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata atau kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.

    Data penelitian dalam penelitian ini akan dianalisis dengan model Analisis Interaktif (Interactive Model of Analysis). Miles dan Huberman (1992:23) menjelaskan model analisis ini terdiri dari tiga komponen analisis yaitu reduksi data (data reduction), pnyajian data (dara display) dan penarikan kesimpulan (conclusion/verifiying) yang dilakukan dalam bentuk interaktif denga proses pengumpulan data sebagai suatu siklus. Adapun langkah-langkah model analisis interaktif adalah sebagai berikut:
    a.Reduksi Data (Data Reduction)
    Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dalam catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan dapat ditarik.
    b.Sajian Data (Data Display)
    Merupakan rangkaian organisasi informasi yang memungkinkan pengambilan kesimpulan riset dan pengambilan tindakan-tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut. Penyajian data ini dilakukan secara sistematis melalui gambar atau skema jaringan kerja yang berkaitan dengan kegiatan dan tabel. Semua dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti.
    c.Penarikan Kesimpulan (Conclusion Verifiying)
    Merupakan proses mengartikan segala hal yang ditemui selama penelitian dengan melakukan pencatatan keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat dan proposisi-proposisi. Penarikan kesimpulan bersifat longgar dan tetap terbuka terhadap adanya perubahan yang mungkin terjadi selama penelitian berlangsung. Dengan kata lain apabila kesimpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti akan menggalinya dari catatan lapangan dan akan melakukan pengumpulan data secara lebih mendalam. Proses interaksi ini berakhir ketika tidak ada lagi variasi data yang dapat menjelaskan fokus kajian (telah jenuh) karena fokus kajian sudah jelas.
    Proses analisis interaktif dapat dijelaskan melalui gambar sebagai berikut :

    Gambar 3. Model Analisis Interaktif
    (Adaptasi dari Miles dan Huberman, 1992:23)

    B.2 Validitas Data
    Untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, digunakan teknik Triangulasi Data. Jenis triangulasi data yang digunakan adalah triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang berbeda dalam metode kualitatif. Menurut Patton (dalam Moleong, 2002:178) hal ini dapat dicapai dengan jalan :
    (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa dengan apa yang dikatakan pribadi; (3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tertentu dalam situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; (4) Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang sepereti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan; (5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

    DAFTARA PUSTAKA

    Budiardjo, Mirriam, 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia,Jakarta.

    Friedrich, Call J, 1967. Constitutional Government and Democracy:Theory and Practice in Europe and America. Blaisdell Publishing Company,. Waltham.

    Miles,Mathew B dan A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (terj) Tjetjep Rohendi Rohidin. Universitas Indonesia press: Jakarta.

    Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya:
    Bandung.
    Prihatmoko Joko J. Menyoal Dana Bantuan Partai. Artikel terbit di Suara Merdeka, 1 Maret 2004.

    Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey. PT Pustaka LP3ES: Jakarta

    Soltau, Roger H, 1961, An Introduction to Politics. Sidgwick & Jackson,London.

    Sutopo, Heribertus. 1988. Pengantar Penelitian Kuantitatif, Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret: Surakarta.

    UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
     

  2. P-Man says:

    Sepakan. Mesti bersih pemerintahan kita. Kasihan rakyat kecil.
    Mulai dari kita sendiri belajar bersih dan jujur.

Tinggalkan komentar