Pasar Tiban


Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata “Pekalongan”? Sebagian besar dari kita tentu sepakat bila Pekalongan identik dengan Batik. Pekalongan sama sejajarnya dengan Solo. Secara kuantitas produksi batik Pekalongan adalah yang terbesar. Berkunjunglah ke pasar Klewer dan Beringharjo, di Solo dan Yogyakarta. Batik Pekalongan membanjiri kedua pasar ini. Makanya tidak salah bila grup band Slank dalam salah satu lirik lagunya menyebut kota batik di Pekalongan, bukan Yogya ataupun Solo.

Di “dalam negeri”, Pekalongan adalah kota dagang. Persis seperti yang dikatakan Clifford Geertz , 45 tahun yang lalu. ”Seperti halnya pertanian, perdagangan di Jawa juga padat karya”, tulisnya dalam Penjaja dan Raja. Bagi pedagang pasar tiban, semua tempat adalah pasar. Pinggir jalan raya, lapangan, hingga halaman balai desa, tempat-tempat itu adalah pasar.

Seolah tak memedulikan pemerintah, pedagang pasar tiban bertebaran di manapun. Jadwal dibuat dan disepakati bersama tanpa hadirnya ”intervensi” pemerintah dalam bentuk peraturan-peraturan. Dalam satu minggu, ada tujuh ”pasar” yang berbeda.. Mereka mengorganisir anggotanya secara sederhana. Mereka nomaden. Mereka berpindah-pindah tempat mengikuti jadwal yang telah ditentukan.

Apa saja yang dijual di pasar ini? Dari bumbu dapur hingga perlengkapan tidur, tersedia di pasar tiban. Sesuai hukum pasar, ada permintaan dan penawaran.

Pasar tiban adalah fenomena pasar ala Adam Smith. Pasar digerakkan bukan oleh “intervensi” pemerintah. Melainkan oleh ”tangan yang tak terlihat” yakni dorongan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan.

Pemerintah tidak membangunkan kios atau los. Pemerintah juga tidak memberikan modal. Hebatnya, dari 104,4 juta orang penduduk Indonesia yang bekerja, sebanyak 73,53 juta orang, atau 70 persen lebih, bekerja di sektor informal termasuk pedagang pasar tiban. Hanya 28,91 juta orang yang bekerja di sektor formal (BPS, 2009).

Pasar tiban adalah sisi lain dari identitas “kota batik” di wilayah Kota Pekalongan ataupun “kota santri” di Kabupaten Pekalongan.

Fenomena semakin bertambahnya pedagang pasar tiban adalah penegasan dari kenyataan bahwa ada alternatif pekerjaan tanpa harus memiliki kios permanen. Tanpa harus di sektor formal. Yang mereka butuhkan cuma satu: jangan diganggu! Mereka bisa mengurus diri mereka sendiri.

Penulis: Akhwan J Saputra

Pegiat di Nyalaterang Institute, Tinggal di Pekalongan.

Tentang nyalaterang
blog keilmuwan murni dengan pemikiran murni dan hati yang murni

Tinggalkan komentar