Ojo Ndableg


“Apapun yang bisa Anda kerjakan atau Anda impikan, mulailah. Dalam keberanian ada kejeniusan, kekuatan dan keajaiban. Mulailah sekarang!”-Goethe- (1749-1832).

 

Pemanasan Global ibarat kereta juggernaut. Ia menerjang apa saja di atas muka bumi ini. Juggernaut (dari bahasa Sansekerta, Jagannatha: raja jagat raya)  adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah wahana ataupun pasukan yang dikategorikan sebagai tidak dapat dikalahkan, yang akan menghancurkan apapun yang dilalui dengan kekuatannya (id.wikipedia.org).

 

Wujud juggernaut dalam konteks perubahan iklim bisa berupa cuaca ekstrim panas atau sangat dingin. Bisa berupa gempa bumi, longsor, banjir, badai salju, angin topan, dan kekeringan. Dan, hal-hal yang mengerikan di muka bumi ini sekarang dan di masa depan.

 

Eropa dan Amerika Utara baru-baru ini sudah kena getahnya. Salju menumpuk di mana-mana. Sejumlah penerbangan dari dan ke Eropa batal. Juga sejumlah pertandingan sepak bola di Eropa batal dipertandingkan. Kedua wilayah itu merupakan kawasan dengan emisi karbon tertinggi di dunia.

 

Anomali cuaca juga terjadi di Australia. Kawasan ini biasanya bulan Desember bersuhu 30 derajat celcius, namun tahun ini hampir nol derajat celcius disertai hujan salju.  Sebelumnya, Rusia mengalami cuaca ekstrim panas hingga 39 derajat celcius sepanjang Juli-Agustus 2010. Cuaca ekstrim telah menewaskan lima ribu orang di kawasan tersebut (The Washington Post, 8/9/2010).

 

Namun sayang hal-hal di atas masih belum ditakuti oleh seluruh penghuni bumi ini. Ia seolah hanyalah dongeng untuk menakuti anak-anak. Belum ada kesadaran massal terhadap hal ini.

 

Ini bisa dimengerti, sebab meski secara keilmuan pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim ini terbukti dan akan makin terbukti nantinya. Namun karena sifatnya tidak tangible (nyata) dan tidak segera terjadi (immediate), masih banyak yang bersikap ndableg. Sikap ndableg menghinggapi individu, pemerintah, hingga korporasi.

 

Para ahli mengemukakan bahwa pemanasan global adalah buah dari aktivitas manusia di atas bumi ini selama berabad-abad lamanya. Lalu meningkat secara drastis semenjak revolusi industri di Eropa yang menyebar hingga ke seluruh dunia. Konsumsi energi fosil yang berlebihan dari aktivitas industri menyebabkan efek rumah kaca. Hal ini diperparah dengan gaya hidup manusia yang konsumtif, tidak peduli pada lingkungan, dan boros energi fosil.

 

Pada tataran individu, sikap ndableg tercermin dari sikap warga yang masih gemar nyampah, boros listrik.   Sikap demikian musti dikikis habis. Diseminasi pengetahuan tentang perubahan iklim dan gaya hidup “hijau” atau ramah lingkungan senantiasa disebarkan agar masyarakat terbiasa dengan isu pemanasan global. Lalu, siapa yang mampu melakukannya?

 

Memang tidak mudah membuat gerakan masif yang memberi kesadaran pada masyarakat. Menggantungkan sebuah gerakan dari pemerintah saja juga tidak tepat. Mengingat selama ini seringkali kebijakan sekadar berorientasi “proyek” atau sekadar menaikkan citra politik. Meskipun pemerintah tetap harus dianggap bertanggung jawab untuk menerjemahkan kehendak rakyat ke dalam kebijakan publik.

 

Wirausaha sosial

 

Di sinilah perlunya individu-individu yang peduli. Jiwa kewirausahaan sosial akan memberi dorongan pada gerakan ini. Ya, kita memerlukan wirausahawan (entrepreneur) sosial dalam bidang ini.

 

Menurut Peter F. Drucker dalam Innovation and Entrepreneurship (1993), istilah Entrepreneur (dari bahasa Prancis, yang artinya: “seseorang yang mengambil alih masalah”) diperkenalkan oleh Jean Baptise Say (1767-1832) untuk menggambarkan pelaku ekonomi yang khas—bukan seseorang yang sekadar memulai usaha, tetapi seseorang yang mengalihkan sumber daya ekonomi dari bidang yang produktivitasnya rendah dan memberikan hasil sedikit ke bidang yang produktivitasnya lebih tinggi dan memberikan hasil lebih besar.

 

Pengertian wirausaha di atas seringkali dialamatkan pada entitas bisnis. Berbeda dengan wirausaha yang mendirikan perusahaan untuk mengejar keuntungan semata, wirausahawan sosial berorientasi sosial, yakni bagaimana gagasan yang diajukan dapat berdampak bagi masyarakat luas. Seorang wirausahawan sosial memajukan perubahan sistemik: bagaimana mengubah pola perilaku dan pemahaman. Ia mengabdikan kemampuannya untuk memperkenalkan solusi baru pada masalah-masalah sosial.

 

Ada beberapa pelopor di dunia seperti Chico Mendes dan Mary Allegretti di Brasil. Mereka memelopori gagasan “kawasan lindung ekstraktif”. Pada 1980-an mereka berupaya menyelesaikan dua masalah sekaligus: melindungi hutan tropis basah Amazon dan melindungi sumber penghidupan ratusan ribu penduduk asli. Sementara di India, tiga ratus tahun yang lalu ada sebuah gerakan yang dipimpin oleh Amrita Devi. Ia memelopori gerakan chipko (memeluk pohon). Sebagai protes terhadap kebijakan Raja Abhay Singh untuk menebang pohon khejri.

 

Indonesia sesungguhnya telah memiliki banyak wirausahawan sosial dalam bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh Prigi Arisandi dari Ecoton yang membuat program Detektif Kali Surabaya. Ia melibatkan ribuan anak-anak untuk memantau dan menjaga kelestarian sungai. Ia prihatin mengingat Kali Surabaya adalah tempat pembuangan limbah dari 800 industri di sepanjang Kali Surabaya. Pencemaran ini membuat 80% anak-anak yang tinggal di sepanjang Kali mengalami pelambatan penangkapan dalam belajar.

 

Di samping itu ada Silverius Oscar Unggul atau biasa disapa Onte. Bersama organisasinya, Jaringan untuk hutan (Jauh), ia melatih dan mendampingi masyarakat di Sulawesi Tenggara menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.

 

Apa yang mereka kerjakan adalah gerakan mulia. Generasi muda hendaknya melihat ini sebagai inspirasi, peluang, dan tantangan untuk ikut andil dalam gerakan perubahan menghadapi pemanasan global. Bumi ini butuh kepedulian Anda, butuh kepedulian kita semua. Gerakan apapun penting dan berguna. Mulailah sekarang!

 

Masihkah kita tetap bersikap ndableg menyikapi pemanasan global? Kalau iya, meminjam bahasa Bang Haji Rhoma, Terlalu!

 

Penulis; Akhwan J Saputra,

Peneliti NyalaTerang Institute

 

Tentang nyalaterang
blog keilmuwan murni dengan pemikiran murni dan hati yang murni

2 Responses to Ojo Ndableg

  1. yani says:

    yo sepakattttt.. pelestarian ekosistem global tentu kewajiban ‘ain dan jga wajib kifayah untuk kita pikul. yang saya ndk sepakat adalah standar ganda. Kita di suruh melestarikan,, eeee malah wong amerika dan eropa merusaknya…

  2. erpand says:

    sahabat alam…

Tinggalkan komentar